"Jam berapa kamu di suruh hadir?!"

"Tujuh kak." Jawab Wina lagi, pelan.

"Saya gak dengar suara kamu! Jam berapa kamu di suruh hadir?!"

"Jam tujuh Kak!" Ulang gadis berekor kuda itu, kali ini dengan suara keras hampir berteriak.

"Terus jam berapa sekarang?!"

"Setengah delapan Kak!"

"Jam setengah delapan." Senior itu mengangguk-angguk, suaranya tenang. Namun itu jenis tenang yang membahayakan. Kemudian, dia tak lagi memfokuskan perhatiannya pada Wina, matanya kembali menatap junior di depannya perlahan-lahan. "INI SUDAH JAM SETENGAH DELAPAN! KENAPA KALIAN BARU DATANG JAM SEGINI?! MANA DISIPLIN KALIAN?! YANG KAYAK GINI BERANI-BERANINYA KALIAN MENYEBUT DIRI KALIAN MAHASISWA?! TERHADAP WAKTU SAJA KALIAN TIDAK BISA BERTANGGUNG JAWAB!" Bentaknya.

Baik Wina dan ke tujuh belas teman sefakultasnya menundukkan kepala. Wina bisa dengar suara teriakan lain di kejauhan, mungkin fakultas lain yang juga 'mendisiplinkan' junior-juniornya. Rasanya, menjadi anak baru itu berat.

"KALIAN BUKAN ANAK SMA LAGI! MENJADI MAHASISWA BERARTI MENJEJAKAN LANGKAH MENUJU MASYARAKAT! JIKA TERHADAP WAKTU SAJA KALIAN TIDAK BISA BERTANGGUNG JAWAB, ITU ARTINYA KALIAN BELUM DEWASA! DAN ITU ARTINYA KALIAN JUGA TIDAK PANTAS MENJADI MAHASISWA, TIDAK PANTAS UNTUK BERGABUNG DALAM MASYARAKAT!"

Semua rekannya hanya terdiam, mendengarkan senior di depan mereka yang terus membentak. Wina merutuk-rutuk dalam hati, kalau bukan karena dia terlalu lelah dan merasa tubuhnya rontok setelah menjalani hukuman kemarin--yang membuat badannya sekarang sakit semua--dia tidak akan terlambat hari ini. Dia juga tak perlu mendengar segala bentakan ini.

Kalau bukan gara-gara Kak Axel!

"Mika, ini dua orang lagi."

Tubuh Wina menegang, dia mengenali suara ini. Melirik secara sembunyi-sembunyi pada pemuda yang baru saja melewatinya bersama dua orang anak laki-laki, gadis itu menghela napasnya pelan. Itu Axel, betapa panjang umurnya dia.

"Mahasiswa sekarang benar-benar gak punya disiplin ya! Pantas saja, baru hari pertama udah ada yang di hukum."

Wina menggigit bibir, sadar betul kalau senior yang dipanggil Mika itu tengah membicarakan dirinya. Kemarin, tidak ada lagi yang di hukum selain dia dan Rifka.

"Ya udah Mik, gue serahin yang di sini sama lu."

"Iya, Xel. Maaf ya jadi ngerepotin. Thanks." Mika tersenyum singkat, tidak lama-lama demi mempertahankan citranya sebagai senior yang tegas. Kemudian, dia menatap dua anak laki-laki yang di bawa Axel. "Kalian, push up lima puluh kali!"

Axel berbalik, Wina menundukkan kepalanya rendah-rendah, tidak mau Axel sampai melihatnya. Terlalu malu, setelah di hukum kemarin dia harus dihukum lagi hari ini. Apa nanti yang akan dipikir pemuda itu. Meskipun Wina juga tidak yakin dia mengenalinya, dia kan bukan siapa-siapa sampai harus diperhatikan seorang ketua BEM. Tapi Wina masih tak yakin dengan perasaannya pada Axel, karena itu dihukum seperti ini masih membuatnya malu.

Jadi di dalam hati, dia berdoa dengan segenap kesungguhan agar Axel tak memperhatikannya dan segera pergi. Meskipun kemungkinan untuk diperhatikan kecil, Wina masih tak mau mengambil resiko.

Tapi seakan semesta sedang bermain-main dengannya. Seakan doa yang baru saja dipanjatkannya terhempas begitu saja sebelum mencapai Tuhan. Karena akhirnya, Axel justru berhenti tepat di samping Wina. "Kamu, coba liat saya."

Jantung Wina rasanya jatuh ke perut. Pertanyaan berputar-putar di kepalanya. Kenapa Axel tiba-tiba memintanya untuk melihat dia? Banyak mahasiswa baru lainnya di sini, jadi kenapa harus dia?

Perlahan-lahan, gadis itu mengangkat wajah, sementara yang lain juga sudah mulai memperhatikan mereka. Ingin tahu kenapa ketua BEM itu tiba-tiba berhenti dan menegur seorang junior yang tengah di disiplinkan. Bukankah dia baru saja menyerahkan tugas itu pada rekannya?

Wina memandang Axel dengan gugup, pemuda itu masih sama tampannya dengan kemarin. Meskipun rambutnya agak berantakan, dengan beberapa helai yang menghalangi mata, Axel masih terlihat begitu sempurna. Dan Wina menyadari sesuatu, mata Axel tak benar-benar hitam. Itu cokelat gelap.

Ini bukan waktunya terkagum-kagum, Win.

Axel menatap Wina dengan ekspresi datar. Matanya memandang bibir gadis itu. Belum sempat Wina bahkan merasa malu karena ditatap seperti itu, Axel tiba-tiba mengangkat tangannya, dan mengusapkan ibu jarinya pada bibir bawah Wina.

Wina terkejut, dan mundur selangkah. Menutup bibirnya dengan tangan, matanya membulat tak percaya.

Semua yang hadir di situ terdiam, menahan napas.

"Dilarang pakai make-up, Wina Austria." Ujar pemuda itu, tak terpengaruh dengan puluhan pasang mata yang memandangnya dalam diam yang aneh. Seakan dia tak melakukan apapun. Seakan yang terjadi baru saja tak penting. Seakan jantung Wina yang menggedor-gedor mengerikan bukan tanggung jawabnya. Pemuda itu hanya dengan tenang kembali manatap Mika yang mulutnya terbuka karena tak percaya pada apa yang dia lihat. "Hukum dia dua kali lipat." Perintahnya.

Mika tersentak, kemudian mengangguk dengan canggung.

Lalu Axel pergi meninggalkan tempat itu. Meninggalkan Wina yang masih terkejut, yang pikirannya masih terserak di bawah kakinya.

Gadis itu bingung. Tidak tahu apa yang harus di prosesnya terlebih dahulu. Tindakan Axel yang mengusap bibirnya, atau kata-kata Axel. Karena kali ini dia tidak sedang melamun, dan dia tidak salah dengar. Axel memanggilnya--Wina Austria.

Clockwork MemoryWhere stories live. Discover now