"Kak! Ini rambut harus hitam tuh wajib?" Seorang gadis, berjarak tiga bangku dari Wina, menatap kertas di tangannya seakan di hujani horor. Dia kemudian meraih sejumput rambutnya yang berwarna cokelat. "Padahal ini baru seminggu di warnain."
Amanda tersenyum meminta maaf. "Sayangnya gitu, pakaian harus hitam putih, rambut harus hitam, gak boleh pake make up. Biar kelihatan rapi. Kecuali kalau rambut asli kalian bukan hitam. Itu gak apa-apa."
Gadis berambut cokelat itu mendengus.
"Udah gak usah sedih, lagian cewek rambutnya hitam itu bagus kok." Cowok disebelah Wina berseru, kemudian meliriknya kembali memamerkan senyum timpangnya. "Kelihatan lebih alami." Jelas-jelas dia menggoda Wina.
Wina memutar matanya, tak peduli.
Sebuah timpukan dari kertas yang di gulung menyerupai bola kecil melayang ke arah anak laki-laki itu. "Gombal mulu sih lu Dan." Ujar si pelempar, cowok dengan rambut cepak.
"Namanya juga usaha Git." Balas Dan-Dan masih nyengir.
Amanda menepuk tangannya sekali, mengembalikan perhatian mereka padanya. "Ok, Ridan, Sigit, saya tahu kalian pasti jomblo. Tapi nyari ceweknya tunda dulu, sekarang dengerin saya ngasih tahu tata tertib ospek, supaya kalian gak di hukum besok." Ujarnya.
Ridan dan Sigit akhirnya hanya saling melempar cengiran. Wina pikir, berapapun umurnya yang namanya cowok itu susah dewasanya!
***
Wina berjalan pada lorong panjang dengan pintu-pintu yang tertutup, di sebelahnya adalah gadis berambut cokelat dalam kelompoknya. Namanya Rifka. Sejak mereka keluar dari toilet, gadis itu terus menerus menghela nafas. Memainkan rambut cokelatnya dengan tampang sedih.
Wina menggeleng kepalanya pelan. "Udahlah Rif, nanti kan bisa diwarnain lagi."
"Bolak balik ngewarnain rambut bakal habis biaya berapa coba." Rifka memanyunkan bibirnya, dan kembali menghela nafas. "Lagian peraturannya aneh-aneh aja sih?! Kita kan bukan anak SMA lagi."
"Tapi kalau ga dituruti kita bakal di hukum."
"Apa gue gak usah ikutan ospek aja ya?"
"Gak ada yang larang sih memang, tapi yakin lu gak ikutan? Gak ikut ospek berarti ga bisa ikutan kegiatan apapun selama kita di kampus. Gak bisa masuk organisasi juga." Jelas Wina, mengingat sedikit dari wejangan yang dikatakan para senior pagi tadi. "Gue sih gak cuma mau belajar doang, mumpung udah kuliah gue mau ikutan organisasi. Itu bisa nambah pengalaman waktu gue ngelamar kerja nanti." Tambahnya.
Rifka menatap gadis disampingnya sejenak, meresapi kata-kata Wina. Kemudian dengan berat hati dia mengangguk. "Iya juga sih." Ucapnya, meraih gagang pintu disebelahnya dengan tampang melamun.
Wina menatap gadis itu, "Rif, ruangan kita di ujung."
"Hah?" Tersentak, Rifka menarik tangannya tapi pintu itu terlanjur terbuka.
Wina menggelengkan kepalanya, berjalan menuju pintu dan hendak menutupnya kembali. Tapi kemudian gadis itu terdiam, matanya terpaku pada satu-satunya sosok yang mengisi ruang kosong itu.
Dia Axel Pranata, berdiri dengan sebelah kaki tertekuk menjejak dinding, tubuhnya bersandar pada kisi jendela yang terbuka. Membiarkan rambutnya tertiup angin hingga menutupi sebagian matanya. Dari bibirnya berhembus asap kelabu yang memudar pada lanskap di luar jendela. Dan perlahan, pemuda itu memutar kepalanya, menatap Wina dan Rifka yang mematung di depan pintu. Axel mematikan rokoknya, pada bungkus di tangan kanannya.
"Itu Kak Axel kan Win?" Rifka menarik ujung lengan baju Wina, matanya tak lepas memandang sosok pemuda itu.
Wina menelan ludahnya, dalam sekejap jantungnya berdegup. Dia tak suka dengan cowok-cowok perokok, tapi entah kenapa dia merasa tak keberatan saat ini.
Axel, yang membelakangi sinar matahari, berjalan menuju mereka dengan kepercayaan diri yang seakan-akan keluar dari setiap pori-porinya. Dia terlihat mengancam, tapi sekaligus menawan. Mungkin ada yang salah dengan otak Wina.
"Win, dia ke sini!" Rifka panik.
Dan itu menyadarkan Wina. Lalu, dengan secepat kilat dia membanting pintu ruangan itu tertutup.
"Kok lu tutup pintunya?!"
"Hah?"
"Itu Kak Axel! Ketua BEM! Bisa-bisa kita di--" belum selesai Rifka dengan kata-katanya saat dilihatnya Wina yang masih memegang gagang pintu tertarik karena pintu yang semula ditutupnya terbuka.
Wina kehilangan keseimbangannya, dan dia menabrak dada Axel. Meninggalkan jejak tipis lipstik pada almamater yang dikenakan pemuda itu. Buru-buru Wina berdiri dengan tegak, matanya membulat pada jas almamater biru di depannya. Mundur selangkah, gadis itu perlahan-lahan menaikan kepalanya memandang wajah Axel yang dingin. "Ma--maaf Kak."
"Apa gunanya kedisiplinan kalau maaf bisa menyelesaikan semua kelalaian?"
Detik itu, Wina tahu dia telah melakukan kesalahan besar. Kenapa tadi gw ngebanting pintu sih!
BINABASA MO ANG
Clockwork Memory
RomanceNatasha Vienna (Wina), seorang mahasiswi baru yang tengah bersemangat menjalani awal kehidupan kampusnya. Bertekad untuk memiliki banyak teman dan berhubungan baik dengan para senior, bertemu dengan seorang ketua BEM yang menjadi idola satu fakultas...
Chapter 1
Magsimula sa umpisa
