Eaalahh anak SMA Panca Harapan, apa jangan-jangan dia kakak kelas gue? Ah bisa mampus nih gue kalo dia beneran kakak kelas gue.

Cowok berbadan tinggi itu berjalan menuju Thea yang kini tampak menunduk, nyalinya menciut. Ya walaupun sebetulnya ia tidak terima, tapi ia lebih memilih cari aman ketimbang ia harus memiliki masalah dengan kakak kelas.

"Maaf ya, tadi sebenernya udah direm. Eh gak taunya tetep nabrak. Hati-hati kalo bawa sepeda. Sepeda ya sepeda, meski lo bawanya kenceng sekalipun, sepeda gak akan berubah jadi motor," papar cowok itu sambil menyunggingkan senyum tipis yang Thea tidak bisa lihat.

Entah kenapa Thea merasa dirinya yang sekarang terpojokkan, padahal seharusnya ia yang memojokkan cowok di depannya. Pandangannya masih ke arah aspal yang ada bercak darah miliknya sendiri.

"Lo gak papa?" Cowok itu kembali bertanya. Namun karena mendadak, Thea sampai terperanjat.

"Ah ... iya ... gak papa kok," balas Thea tergagap sambil mengeluarkan cengiran kikuknya.

"Ya udah gue cabut dulu ya. Sepeda lo gak kenapa-kenapa kan?"

Sambil mengangguk-ngangguk pasrah, Thea menjawab. "Iya."

Sebelum cowok tinggi di hadapannya benar-benar berlalu, Thea sempat membaca nametag di baju seragamnya. Bintang A Javiero. Diberkahi rasa keingintahuan yang tinggi dari Tuhan, huruf 'A' di tengah-tengah nama itu menjadi pusat rasa keponya.

"Kepanjangan 'A'nya itu apa ya?" tanyanya pada debu jalanan. Kemudian ia kembali menaiki sepedanya sambil memikirkan huruf 'A' yang sebetulnya itu tidak penting untuk dipikirkan.

Thea terkejut saat kakinya mulai mengayuh pedal sepedanya, rantenya copot disaat-saat yang tidak tepat ini. Kenapa pas cowok itu masih ada ia tidak menyadari akan hal ini? Kenapa baru sekarang ia sadar kalau sepedanya kenapa-kenapa?

Bingung sekaligus panik serta emosi yang sudah setinggi langit, Thea harus merasakan perasaan itu secara bersamaan di satu waktu. Bayangan ia akan terlambat sampai ia dihukum guru BK pun kini mulai menyerang isi otaknya. Membuatnya semakin gelisah. Sampai pada akhirnya, ada suara klakson motor yang tiba-tiba berhenti di sebelahnya.

"Say hi Thea," sapanya ramah.

Thea nyelinguk dengan ekspresi susah sekali untuk dibaca. Kenapa disaat ini juga ia harus ketemu cowok rese ini?

"Kenapa lo di sini?" tanya Thea ketus sambil menggusah napas.

"Nolongin lo lah," balasnya enteng.

Mulut Thea setengah mengatup sembari melongo, terkejut dengan cowok rese yang kemarin menyebut dirinya sebagai Rio.

"Kok lo malah mlongo? Lupa sama jam yang sekarang udah mau pukul tujuh?"

Seketika mata Thea melotot.
Oh iya ya, kenapa gue bisa lupa kalo gue mau ke sekolah.

"Ya gimana mau ke sekolah, sepeda gue rantenya copot," keluh gadis yang baru berumur enam belas tahun itu.

Rio memandangi gadis mungil dengan tatapan kosong di depannya ini dengan perasaan iba sekaligus dongkol. Sebenarnya dongkol dengan sahabatnya yang tidak bisa cari kesempatan dari kejadian ini. Bukannya langsung ditolong, eh Bintang justru mengutus dirinya sebagai malaikat penolong untuk Thea. Padahal apa susahnya nyuruh Thea masuk ke mobilnya dan berangkat bareng. Di sela-sela rentetan sumpah serapah yang sedang ia tujukan kepada Bintang, ia melihat lutut Thea yang mulai dibanjiri darah.

"Eh lutut lo berdarah tuh," seru Rio cemas. Sayangnya yang dicemaskan malah membalasnya acuh dengan gumaman pelan sebagai jawaban.

"Ya udah lo sekarang naik ke motor, kita ke sekolah bareng," jalas Rio mencoba berbaik hati.

Thea melirik sekilas ke arah Rio, kemudian menunjuk dirinya dengan jari telunjuknya. "Bareng? Sama lo?" Thea geleng-geleng kepala, enggak habis pikir nasibnya hari ini akan seperti ini. "Ya udah ayoo," lanjutnya tak menghiraukan ekspresi Rio yang sedikit kesal.

Akibat luka di lututnya, Thea harus berjalan pincang menuju motor Rio. Bahkan, ia sampai kesulitan menaiki motor. Tapi bukan itu masalah yang sebenarnya Thea sedang pikirkan, melainkan sepedanya nanti gimana?

"Eh sepeda gue nanti gimana?" gerutunya cemas.

"Gue udah suruh tukang bengkel langganan gue untuk bawa sepeda lo," balas Rio. Tapi hatinya bilang, Duh gak enak juga ya jadi king drama kek gini. Padahal yang suruh tukang bengkel ke sini kan si Bintang.

Di tengah perjalanan, kedua anak manusia ini sama-sama bungkam. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Thea tidak sabar ingin menemui Isna untuk menanyakan sosok Adrian lebih lanjut, karena jujur semalaman ia sampai susah tidur gara-gara memikirkan Adrian. Berbanding terbalik dengan Rio, Rio malah menggerutu di dalam hati ketika mengingat-ngingat sebuah pesan singkat yang ia dapat dari Bintang.

From : Bintang
Yo tolongin gue. Gue tadi gak sengaja nabrak Thea di jalan, kakinya terluka dan kayaknya sepedanya rusak. Lo jemput dia ya.

Lagi-lagi Rio mengembuskan napas kasar ketika mengingat isi pesan itu. Tapi apa pun perintah Bintang itu sudah menjadi tanggung jawabnya sebagai bodyguard pribadi utusan papanya Bintang. Kalau saja tidak ada papanya Bintang, mungkin dirinya tidak akan pernah merasakan bangku SMA. Sekolah pun karena disuruh menjaga Bintang.

Hanya ada suara deru motor di antara mereka berdua. Sampai akhirnya Thea mulai membuka mulut.

"Eh Rio, eh maksud gue Kak Rio. Duh ribet amat ya manggilnya."

"Panggil Rio aja," potong Rio tak mau panjang lebar.

Thea mengangguk menyanggupi. "Kok lo bisa dadakan banget ya ada di situ?"

Mana ada dadakan woy, gue ini udah diutus tau gak?

"Ya namanya juga takdir. Nanti pas nyampe gue anterin ke uks dulu Te," ucapnya dengan intonasi datar.

Sambil mengernyitkan dahi, Thea menepuk pelan pundak Rio. "Enggak usah Kak, eh Rio. Cuma luka kecil doang kok," sanggah Thea mencoba menolak dengan halus.

"Lo tadi ketemu sama yang nabrak lo?" tanya Rio penuh selidik.

"Iya, ketemu. Awalnya sih itu orang gak mau turun dari mobil, tapi anehnya mobilnya diem aja di situ. Tapi lama-lama dia keluar juga. Dia tinggi banget woy, gue takut jadinya, alhasil gue gak jadi marahin dia. Tapi satu hal yang gue tau, namanya itu Bintang A Javiero." Rasa penasaran mulai menyelimuti pikirannya setelah ia menyebutkan nama itu lagi.

"Menurut lo dia ganteng? Lo suka gak sama dia?"

Merasa pertanyaan yang diajukan Rio itu sangat ambigu, Thea mulai kebingungan menanggapinya.

"Boro-boro suka, liat mukanya aja kagak. Tapi gue kepo sama huruf 'A' di nametagnya."

Rio mulai senyum-senyum di balik helmnya, ia mulai menyadari kenapa Bintang bisa menyukai gadis polos seperti Thea. Bicaranya yang terlalu jujur sampai sikap lugunya yang menggemaskan.

"Kok lo kepo? Suka ya?"


****
Hallo reader baik.
Jangan lupa untuk voment ya.
See u next part <3

Kira-kira urusannya jadi panjang gak? Apakah Thea yang terkenal tukang pukul itu tidak akan memberikan Bintang balasan apapun? Yuk, next ke bab berikutnya.

Salam,
Tress.

THEA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang