CHANCE - Chapter 19

4.6K 223 1
                                    

"Kau harus segera beristirahat, kau mengerti?" Aku mengangguk menanggapi ucapan Leon yang lebih kepada suatu perintah untukku. Peter sudah tidur, ya ini sudah pukul 8 malam dan memang seharusnya ia tidur.

"Kalau begitu aku pulang dulu. Masuk lah."

"Hm.."

Dan tak lama mobil Leon telah berlalu menjauhi rumah Andrew. Aku melangkah masuk kedalam rumah dan mendapati Andrew tengah duduk disebuah sofa dengan wajah nya yang garang.

Aku duduk di hadapan nya yang menatapku ganas, "Kemana saja kau?" Akhirnya ia membuka suara setelah sekian lama kami membisu. Suara nya mencengkam malam ini. Ditambah diluar sana cuaca sedikit lebih dingin dari pada malam biasanya.

"Um, aku.. Aku.."

"Aku apa?! Jawab!" Aku terlonjak kaget mendengar teriakannya padaku, "Um, aku tadi habis keluar dengan Leon dan-"

"Kau pergi dengannya?! Mau berapa kali aku bilang padamu, Jessi. Aku tidak suka kau pergi dengannya! Paham?!"

Emosi ku malah terpancing mendengar keegoisan Andrew muncul begitu tiba-tiba, "Aku tau, aku tau! Tapi aku tidak berdua dengan nya, kami bersama Peter!" Nafasku memburu.

"Tetap saja kau berdua dengannya! Peter hanya anak kecil, jangan kau jadikan asalan, Jessi!!" Dia berdiri dan melangkah padaku. Sontak aku pun ikut berdiri dan melangkah mundur menjauhinya hingga aku berhenti karena sudah disudut ruangan.

"Aku sudah katakan padamu, kalau aku tidak suka milikku bersama laki-laki lain!"

"Aku milikmu? Apa arti sebuah kepemilikkan bagimu, huh? Apa?!"

Andrew diam tanpa kata. Namun aku tau dia tengah menahan diri agar tidak kasar kepadaku, "Kepemilikan bagimu bukanlah arti sesungguhnya, kau tau?!" Tak dapat aku tahan emosiku. Air mataku kini jatuh lagi, aku lelah! Aku lelah jika terus begini.

"Kau bahkan seperti buta akan cinta, kau-"

"Jangan pernah mengajariku soal cinta, apa yang kau pahami tentang cinta, huh? Bahkan kau sendiri juga tidak bisa menjalin hubungan mu dengan mantan kekasihmu yang brengsek itu. Yang sudah membawamu ke tempat sialan seperti itu sehingga kau dijadikan pelacur! Berarti kau tidak mengerti apa arti cinta, Jessi. Jadi ja-"

"Cukup!!" Potong ku dengan keras.

"Puas? Apa kau puas, huh?" tanyaku lirih. Suaraku sudah tercekat rasanya, apalagi harus berteriak untuk mengimbangi suara nya yang sungguh lantang di telingaku.

"Kenapa kau begitu brengsek, Andrew? Saat kau membebaskanku dari tempat itu, aku berharap akan memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dengan dirimu. Namun nyatanya? Ini sama saja! Aku seperti dikekang olehmu dan aku-"

"Aku menyelamatkanmu hanya karena iba. Jangan pernah berfikir aku membelimu dengan puluhan ribu dollar karena aku mencintaimu. Kita tidak akan pernah memili-"

"Tidak akan pernah memiliki hubungan. Iya kan? Aku sangat ingat kata-katamu, Andrew. Tapi apakah aku yang menginginkan cinta ini tumbuh padamu? Kau pikir aku dengan sengaja menyukaimu? Jika aku bisa memilih untuk mencintai laki-laki lain selain dirimu, pasti akan aku lakukan. Tapi nyatanya, cintaku memang untuk laki-laki bejat seperti dirimu!"

Wajah Andrew terlihat menahan kekesalan dan juga bingung, saat Andrew ingin berbicara aku memotongnya karena sudah terlalu lelah untuk berdebat, "Terserah apa yang akan kau ucapkan, Andrew! Terserah!" Aku beranjak dari tempatku dan menjahuinya. Tapi Andrew malah mencekal tanganku agar tidak pergi dari hadapannya.

"Apa lagi?! Apa kau tidak puas memakiku?"

"Aku mohon hilangkan rasa itu dariku, Jessi!" pintanya dengan tegas, "Baik. Aku akan hilangkan rasa itu untukmu! Dan sebagai gantinya, aku mohon aku ingin bebas dari rumah ini dan juga darimu. Jika kau ingin aku menghilangkan rasa ini, maka biarlah aku pergi dari kehidupan mu." Setetes air mata jatuh kembali. Aku menatap manik matanya yang terlihat bingung, marah, dan hancur secara bersamaan.

Saat itulah aku menepis tangannya dan berlari ke kamar lalu menguncinya. Aku menangis dengan penuh kesal dan amarah. Dadaku seakan sesak karena seharian harus menangis karena seorang laki-laki.

Andrew's POV

Aku terdiam. Ya itulah yang aku lakukan sekarang. Ucapan Jessi seakan seperti bumerang bagiku, semua nya seakan menohokku kesudut agar aku yang terlihat bersalah di permasalahan ini.

Aku menatap mata itu yang begitu kecewa dan juga rapuh. Ia berlari meninggalkan aku disini yang enggan menatap kepergiannya ke kamar.

Apa yang kau lakukan disini? Hanya berdiam diri? Kau bodoh, Andrew! Kejar dia!

Aku berteriak histeris mendengar isi kepalaku memintaku untuk mengejar Jessi ke kamarnya. Aku yakin perempuan itu akan mengunci kamar nya dan tidak akan membiarkan aku untuk masuk.

"Aku tidak perduli dengannya. Jika dia ingin pergi, maka pergilah."  Ucapku yakin. Dan ternyata benar, beberapa menit kemudian Jessi turun dengan membawa tas dan beberapa barang nya keluar dari kamar. Ia tak melirikku sedikitpun, dan hanya berjalan keluar dari rumah dengan wajah yang begitu hancur.

"Kau mau kemana, Jessi?" tanyaku pelan tanpa mendekatinya.

"Pergi. Pergi jauh darimu." jawabnya mantap. Aku menggempalkan tangaku menahan amarah agar tidak manyakitinya, karena itu pasti lebih membuat Jessi marah besar padaku.

"Berani saja kau pergi dari rumah ini selangkah saja, maka hidupmu tidak akan nyaman, Jessi." Ancamku tegas.

Ia menatapku sejenak, kemudian berjalan keluar dari ambang pintu, "Sudah ku lakukan." Kemudian ia bergegas pergi dengan air muka yang kecewa dan juga marah, "Jika itu maumu, akan aku lakukan." Ucapku pada diriku sendiri.

Jessica's PPV

Aku tidak tau harus pergi kemana malam ini. Ini sungguh menyakitkan, laki-laki yang baru aku sadari aku mencintainya, kini telah menjadi sosok terbrengsek yang pernah aku temui selain Edward, tentu saja.

Aku menangis di tepian jalan seperti orang bodoh! Oh Tuhan, apakah nanti akan lebih buruk lagi? Namun entah kenapa Tuhan seperti membenciku. Ia mengabulkan ucapanku tadi dan sekarang mulai rintik hujan.

"Sial!"

Rintik nya malah semakin deras, aku bahkan hanya memakai baju tipis saja. Dan ini sungguh dingin, betapa bodohnya aku disaat musim dingin akan tiba, aku malah mengenakan pakaian bodoh seperti ini. Aku memaki diriku sendiri di bawah air hujan. Disini aku menangis, merutuki kebodohanku yang malah pergi dari rumah Andrew, ditambah laki-laki itu mengancam akan membuat hidupku tidak nyaman.

"Seriously? Baru saja kemarin ia mengatakan aku agar tidak pergi karena dia membutuhkanku. Sekarang? Kau patut di cap sebagai brengsek, Andrew!!!" teriakku dibawah derasnya hujan. Pakaianku kini telah basah, aku gak tau harus pergi kemana. Bahkan sekarang otakku telah buntu.

Namun tiba-tiba saja cahaya silau dari lampu sebuah mobil di depanku membuat aku sedikit menutup pandanganku. Orang itu keluar dari mobilnya dan menghampiriku.

"Yaampun! Jessi!!!" Teriak Leon. Terimakasih Tuhan kau telah mendatangkan Leon padaku, "Leon?!" Aku memeluknya erat. Seakan ia adalah pahlawanku malam ini.

"Kenapa kau disini?"

"Aku.. Tadi aku.." seketika pandanganku gelap tak berdaya.

To Be Continued.

-

Yihii babang Leon lagi hm. Pada tim Jele, atau Jean? Hahaha aneh nama mereka di gabungin😂

Jangan lupa vote guys💞

-

©Next ➡ Chapter 20©

CHANCE [END] #Wattys2019Where stories live. Discover now