CHANCE - Chapter 18

4.5K 218 3
                                    

Jessica's POV

Aku, Leon, dan juga Peter kini tengah menuju kesebuah pantai. Entah ide gila dari mana jam segini untuk pergi ke pantai. Kata Leon sih, untuk mencari sunset saja. Ya aku tau, Peter sangat menyukai sunset. Karena menurutnya sunset itu begitu indah seperti Luara. Itu pendapat anak kecil saja. Memang aneh kedengarannya, namun ya imajinasi anak kecil memang susah ditebak, bukan?

"Woi! Melamun terus." Leon menyentakkan tubuh ku sehingga aku terkejut parah.

"Kurang ajar kau Leon! Aku sudah pernah katakan kalau aku tidak suka seperti itu." geramku menatapnya kesal. Leon malah tertawa lebar sembari menyetir mobilnya. Aku melihat kebelakang saat Peter juga ikut-ikutan menertawaiku.

"Pantai!!!!" teriak Peter histeris. Aku tersenyum saat melihat nya gembira seperti ini. Kami segera turun dan menuju ke tepi pantai. Aku melihat arloji yang sudah menujukkan pukul lima sore. Ini adalah waktu yang pas untuk menunggu sunset datang.

Leon menggendong Peter di pundaknya dengan penuh ria. Aku tak sadar telah ikut tertawa melihat wajah riang kedua laki-laki ini. Mereka tampak melepas beban satu sama lain, aku juga senang bisa melepaskan rinduku pada Peter.

"Ucle cukup!! Aku geli!! Hihihiii." Peter terus saja mendorong tubuh Leon agar melepaskannya dan berhenti menggelitiki perut anak itu. Aku duduk di pasir pantai sambil menunggu sunset tiba. Tenang. Ya! Itulah yang aku rasakan saat ini, sebuah ketenangan yang telah lama aku tidak dapatkan semenjak Edward membawaku ketempat malam itu dan menjualku.

Mengingat masa-masa itu membuat aku merasa sakit. Kenapa aku harus menjadi wanita seperti itu? Kenapa aku harus jatuh kelubang hitam, dan saat aku bebas, beban ku sama saja! Aku bahkan sudah seperti hewan peliharaan yang tidak boleh ini, tidak boleh itu. Andrew sama egoisnya dengan Edward. Menurutku mereka adalah laki-laki yang sama, yang hanya mementingkan ego mereka ketimbang aku. Tapi disini Andrew terlihat sedikit berbeda daripada mantan kekasihku, dia.. Dia bisa memuaskan kebutuhanku. Aku tertawa kecil saat tersadar aku mengakui jika aku membutuhkannya.

Itu bearti kami memang saling membutuhkan, dalam arti menjalin hubungan badan. Itu saja, tidak bisa lebih. Walau aku mau hal itu, namun alarm bahkan selalu terngiang saat pikiranku melenceng kearah sana.

"Jessi.." panggil Leon lembut. Aku kembali tertampar kedunia nyata. Aku menatap Leon yang ternyata sudah duduk disebelahku dan Peter tengah bermain pasir dipangkuannya.

"Kau kenapa? Aku perhatikan kau sering melamun hari ini." Wajah Leon tampak khawatir. Kenapa?

"Aku tidak apa-apa." jawabku bohong. Tentu aku berbohong, tidak mungkin aku memberitahukan padanya jika aku sedang memikirkan Andrew saat ini.

"Mulutmu bisa berbohong, namun hatimu tidak, Jessi. Mau sampai kapan kau menutupi semua keresahanmu? Kita sudah berteman hampir satu tahun. Percayalah padaku." Leon merangkul tubuhku agar lebih mendekat.

Aku menatap bingung pada Leon yang berperilaku padaku seperti ini. Bisakah aku mempercayai Leon? Apa aku bisa? Aku tidak yakin. Bagaimanapun hal yang mengganggu pikiranku berawal saat aku masuk kedunia malam itu. Dan itu adalah sebuah aib besar bagi diriku, aku tidak mau Leon jijik dan menjauhiku karena hal itu.

"Bukan apa-apa, Leon." Sial! Bahkan suaraku mengkhianatiku. Leon menarik nafasnya lalu menghembuskan nya dengan sekali hentakan. Rangkulannya terlepas dariku, "Kau tau? Aku lebih suka berteman denganmu jika kau jujur. Berbagi cerita denganku itu bukan hal yang salah. Aku akan mencoba untuk mengerti apa yang terjadi padamu." Seketika saat mendengar ucapan Leon barusan, itu membuat aku terharu. Setetes air mata telah sukses jatuh menuruni pipiku.

Aku tidak tahan! Aku butuh sandaran saat ini. Aku memeluk tubuh Leon dengan erat dan menangis di dada nya. Leon mengusap punggungku sembari menenangkan aku.

CHANCE [END] #Wattys2019Where stories live. Discover now