Part 43

10K 806 23
                                    

Lana berusaha melihat ke belakang, tapi tidak bisa. "Tolong kami...." ucapnya terbata-bata, lalu tubuhnya jatuh ke lantai dan tak sadarkan diri.

"Tega sekali kau melakukan ini padaku, Bu...." ucap Amora pelan. Mulutnya dipenuhi darah, wajahnya juga pucat pasi.

"Kau yang membuatku melakukan ini, Amora! Sudahlah, harusnya tadi kau mati saja!" Dania menjatuhkan pistol di tangannya, lalu dia mendekati Lana yang sudah tidak berdaya.

"Aku bingung harus bagaimana," keluh Dania. Dia menatap ngeri punggung Lana yang berdarah—terlihat dari baju lana yang berdarah bahkan robek di beberapa tempat. Dania berusaha menopang Lana dengan hati-hati.

Sementara di luar, Jansen berlari seperti orang kesetanan, dibelakangnya anak buahnya mengekor.

Jansen masuk dan tiba-tiba tubuhnya lemas melihat pemandangan di depannya.

"APA YANG SUDAH KAU LAKUKAN?!" jerit Jansen dengan marah. Dania terkejut, namun tidak sedikitpun dia menoleh pada Jansen.

"Dia terluka parah. Bawa dia ke rumah sakit. Biar aku yang urus anak sialan ini!" Jansen mendekat dan dia langsung mengambil alih tubuh Lana. Dia menggendong Lana dengan sangat hati-hati, lalu membawa Lana keluar dari kamar itu. Sangkin paniknya, Jansen sampai lupa pada Loly.

Dia terus melangkah dengan cepat, di ikuti anak buahnya yang menggendong Loly yang juga belum sadarkan diri.

Jansen masuk ke dalam mobil, dia bahkan yak berbicara barang sepatah kata pun. Sungguh, dia benar-benar ketakutan. Sementara darah terus mengalir dari selangkangan Lana. Jansen terus memanjatkan doa dalam hati agar Lana dan calon bayi mereka tidak apa-apa.

Dia tidak menangis, kesedihan yang dia rasakan begitu dalam.

Saat mobil sudah tiba di rumah sakit, Jansen langsung keluar dan membawa Lana masuk ke dalam rumah sakit.
Jansen merasa tulang-tulangnya ngilu saat membaringkan Lana di brankar.

Waktu berjalan begitu lambat membuat Jansen tidak sabaran melihat keadaan Lana yang kini sudah ada di ruang ICU.

"Maaf, Tuan... putri Anda ada di ruang rawat XX di sebelah sana." Jansen tidak berkutik, kepalanya menunduk. "Mereka sudah di bawa ke kantor polisi, sementara yang satu di rawat dengan pengawasan ketat dari polisi," lanjut salah satu anak buah Jansen.

Jansen mengembuskan napas beratnya saat seorang dokter keluar dari ruang ICU.

"Bagaimana keadaan istriku, Dok?" tanya Jansen dengan penuh khawatir.

Dokter paruh baya itu menghela napasnya pelan, dia menggeleng.

"Kondisi istri Anda sedang tidak stabil, dan kandungannya tidak bisa diselamatkan akibat dari pendarahan istri Anda yang tidak berhenti sampai sekarang. Kami mohon maaf, kami akan berusaha semaksimal mungkin." Dokter wanita itu membungkukkan pundaknya, lalu dia pergi karena dia masih harus melanjutkan tugasnya.

Tubuh Jansen lunglai ke lantai.

"Bagaimana mungkin bisa seperti ini?" Jansen mengepalkan kedua tangannya dengan kuat sampai buku jarinya memutih.

"Bagaimana mungkin bisa begini?!" Jansen melayangkan tinjunya ke lantai. Wajahnya merah karena emosinya benar-benar tidak bisa di kontrol lagi.

Jansen bangkit berdiri, dia menatap tajam anak buahnya.

"Di mana dia dirawat?" tanya Jansen dengan pelan dan dingin.

"Bawa aku ke sana!" Anak buahnya hanya mengangguk dan membawa Jansen menuju ruang rawat Amora.

Saat sudah sampai, Jansen langsung masuk tanpa izin. Dia menatap benci gadis yang juga tak sadarkan diri itu. Dokter yang menangani Amora terkejut.

Jansen mendekat lalu dia langsung mencekik Amora tanpa perasaan. Rahangnya mengeras karena emosi. Tentu saja ruangan itu menjadi heboh dan panik, tapi tak ada yang berani mencegah.

"Ayah...." Jansen menarik tangannya, membalikkan tubuhnya. Menatap putri kecilnya yang lemah dan pucat berdiri di gendongan asisten rumah tangganya.

Dia mendekati Loly dan menggendong Loly.

"Ayah, Loly sangat takut padanya. Dia memukul ibu terus." Jansen menatap lekat wajah Loly yang memar.

"Bunuh saja dia!" kata Jansen, lalu dia pergi.

★∞★

"Maafkan aku. Maaf...." ucapan itu terus berulang-ulang terucap dari mulut Jansen sejak beberapa saat lalu, saat dia sudah diizinkan melihat Lana. Sementara Loly kembali di rawat. Kemungkinan, Loly akan trauma karena kekerasan yang dilakukan Amora.

Lana sudah pindah ke ruang rawat.

Jansen menatap nanar Lana. Tubuh itu terpaksa diganjal menyamping karena punggungnya yang parah. Perut Lana juga sudah tidak buncit lagi.

"Hampir saja aku kehilangan kau, Lana...." Jansen mengusap sudut matanya menggunakan sebelah tangannya, sementara satu lagi menggenggam tangan Lana yang bebas infus.

Jansen memejamkan matanya. Ada banyak sekali masalah yang terjadi pada keluarganya. Tadi dia mendapat kabar kalau tante dan mertuanya ternyata di culik Amora, namun sudah ditemukan. Dan kini mereka sedang dalam perjalanan.

Sementara Amora, dia belum mati juga. Padahal itu yang Jansen harapkan.

"Uhhh...." Jansen langsung berdiri saat mendengar erangan Lana.

"Semuanya sakit...." ucap Lana menahan tangisnya. Jansen berusaha mendudukkan Lana dengan hati-hati. Lalu dia duduk di depan Lana, menopang tubuh istrinya itu.

"Syukurlah...." kata Jansen sedikit lega.

"Loly?" Jansen mengelus kepala Lana.

"Dia baik-baik saja." Jansen tersenyum kecut. Bisa-bisanya Lana masih memikirkan orang lain sementara dia masih sekarat. Lana menyandarkan kepalanya di dada Jansen, kepalanya berdenyut hebat, tapi itu tak seberapa dibandingkan punggungnya yang begitu sakit, perutnya juga sama.

Lana menyentuh perutnya, keningnya berkerut, jantungnya seperti di remas-remas. Sakit!

"Perutku kempis. Kenapa?" Lana berusaha berpikir keras membuat kepalanya semakin berdenyut. Jansen hanya diam saja, tidak sanggup menjawab Lana.

"Aku tidak bisa menyelamatkannya ya?" Lana mengusap air matanya pelan.

"Jangan menangis, Lana. Tidak apa-apa. Akan ada pelangi sehabis hujan," ucap Jansen. Lana terdiam, dan diam terus menerus.

Saat Diamond dan Lyan ada kamar rawatnya pun, Lana masih tidak bicara. Wajahnya begitu memancarkan kesedihan dan kehilangan yang mendalam.

Jansen memeluk Lana dengan hati-hati, dia juga diam seribu bahasa. Membiarkan Diamond dan Lyan duduk di ranjang yang sama dengan mereka berdua.

Ruangan itu begitu suram, tak ada yang berbicara. Hanya suara isak tangis yang terdengar.

★∞★

4 Maret 2018

I Will Still Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang