Part 39

11.1K 904 20
                                    

Pliss vote, for support my story, xoxo

Amora berdiri mematung di depan rumah mewah di kawasan Kampung Baru, Rantauprapat. Dengan sedikit keraguan di hati, dia melangkahkan kakinya, tapi hanya beberapa langkah saja.

"Apa benar Lana di rumah ini?" tanya Amora pada dirinya sendiri. Saat hendak melangkah lagi, Amora mengurungkan niatnya. Dia berbalik dan masuk ke dalam mobilnya.

"Aku harus memastikan lagi. Apa perlu aku datang ke rumah Diamond?" Amora menggeleng. "Tidak! Yang ada wanita itu nanti menjebloskan aku ke penjara. Sial!" Amora membanting setir karena hatinya kesal.

Dia menghidupkan mesin, lalu melajukan mobilnya. Dia harus menenangkan dirinya agar bisa berpikir dengan jernih, menyusun rencana untuk menghancurkan Jansen dan keluarganya.

Tidak berapa lama setelah mobil Amora pergi, gerbang rumah Jansen terbuka lebar, dan keluarlah mobil Jansen.

"Sepertinya kita akan terlambat menjemput Loly," keluh Lana. Jansen hanya tersenyum.

"Bagaimana kalau Loly menunggu terlalu lama?"

"Tidak, Lana. Mudah-mudahan Loly belum pulang." Lana mengangguk, dia menatap lurus ke depan. Jansen sesekali melirik Lana yang lebih banyak diam. Mungkin mood istrinya itu sedang tidak bagus.

Hingga mereka sampai di sekolah Loly, Lana masih diam dan sepertinya dia termenung sampai tidak menyadari kalau mereka sudah sampai.

Jansen melepas sabuk pengaman lalu menyentuh bahu Lana membuat Lana tersadar kembali.

"Kau melamun. Sedang memikirkan apa, hmm?" Lana menggeleng.

"Kita sudah sampai." Jansen melepas sabuk pengaman Lana, lalu dia keluar dari mobil begitu juga dengan Lana.

Lana mengamati di sekitaran sekolah Loly, sepi.

"Sepertinya mereka sudah pulang." Lana mengangguk, namun dia tersenyum saat melihat Loly berlari ke arah mereka.

"Ayah... Ibu...!" jerit Loly dengan wajah berseri-seri. Jansen ikut tersenyum.

Lana berjongkok dan langsung saja Loly menubruk tubuh sang ibu.

"Sudah lama pulangnya?" Loly mengangguk dengan cepat sembari melepas pelukannya. Jansen menggendong Loly, sedikit heran karena biasanya kalau dia terlambat menjemput Loly, putrinya itu akan cemberut.

"Tadi sama siapa?" Loly memeluk leher Jansen.

"Tadi Loly bersama ibu guru, Ayah. Tapi ibu guru memberikan boneka ini pada Loly. Katanya lusa Loly ulang tahun. Jadi ibu guru memberi hadiah ini." Loly menunjukkan boneka yang dia pegang sejak tadi. Jansen pikir tadi itu boneka yang di bawa Loly dari rumah.

"Ibu guru yang mana, Ly?" Loly mengangkat bahunya, seperti enggan bercerita lebih panjang lagi pada sang ayah.

"Ibu guru Loly sangat perhatian, ya. Aku saja tidak tahu ulang tahun Loly kapan." Lana tersenyum masam, tapi Jansen menggeleng.

"Ulang tahun Loly itu bulan depan. Loly, katakan pada Ayah siapa yang memberimu hadiah?" Loly menahan senyumnya.

"Aduh, Ayah... Loly sangat lapar," ucap Loly pura-pura.

"Sejak kapan Loly suka berbohong? Ayah tahu Loly tidak lapar, dan Ayah tahu kalau Loly sedang berbohong." Jansen menghela napasnya pelan. Dia menarik tangan Lana menggunakan sebelah tangannya, lalu mereka masuk ke dalam mobil dan pergi dari tempat itu.

★∞★

B

eberapa saat setelah mereka sampai di rumah, Jansen tidak ada sedikitpun berbicara. Begitu juga saat mereka diperjalanan tadi membuat Lana bingung. Sementara Loly merasa serba salah pada ayahnya.

Lana menyentuh tangan Jansen, dia tersenyum tipis.

"Kau ini kenapa?"

"Tidak apa-apa, Lana. Kau lapar?" Lana menggeleng.

"Loly sedang ganti baju," ucap Lana meski Jansen sudah tahu.

"Lana, mulai besok jangan keluar rumah kalau tidak bersamaku. Mengerti?" Lana mengangguk. Jansen menggenggam tangan Lana dengan erat.

"Aku merasa aneh dengan Loly. Aku sengaja tidak bisa padanya. Dengan begitu, nanti dia bisa berkata jujur padaku."

"Jangan marahi Loly." Jansen menggeleng, dia tersenyum.

"Tidak, Lana. Aku hanya ingin dia mengakui dan berkata jujur padaku. Bisa saja orang yang memberi boneka itu bukan gurunya."

"Aku mengerti. Lalu bagaimana kalau yang memberi boneka itu orang jahat?" Jansen menatap Lana, dia mengangguk. Ucapan Lana sama seperti apa yang dia pikirkan.

"Ayah, Ibu...!" Loly berlari mendekati Jansen dan Lana yang duduk santai di ruang keluarga. Lalu dia naik ke pangkuan sang ayah.

"Maaf, Ayah...." Loly memainkan ujung bajunya, matanya kini berkaca-kaca.

"Kenapa Loly minta maaf?" tanya Lana sambil tersenyum.

"Karena Loly berbohong pada Ayah, Bu." Loly memegang tangan Jansen agar ayahnya itu meresponsnya.

"Ayah, Loly bohong. Sebenarnya yang memberi boneka itu bukan ibu guru, tapi Loly juga tidak tahu dia siapa. Loly baru sekali itu melihat wajahnya. Maaf, Ayah...." Jansen mengembuskan napasnya pelan. Dia mengelus rambut Loly dengan sayang.

"Kenapa harus berbohong?"

"Karena bibi itu menyuruh Loly mengatakan untuk tidak memberitahu Ayah dan Ibu."

"Bibi itu masih muda?" tanya Jansen, karena dia merasa ada yang tidak beres dengan wanita yang Loly ceritakan.

"Seperti oma. Memakai baju warna biru. Rambutnya di ikat dan pakai topi, Ayah." Jansen mengangguk. Dia mengusap sudut mata Loly.
Dia memeluk Loly fan mengelus punggungnya sampai Loly mengantuk.

"Ayah, besok bibi itu akan datang lagi ke sekolah Loly membawa hadiah ulang tahun." Ucap Loly sebelum tertidur dip pelukan sang ayah.

"Siapa kira-kira?" Lana tidak menjawab. Dia menyandarkan kepalanya di bahu Jansen.

"Apa mungkin Andrea? Ah, tidak mungkin. Loly sudah kenal dengan wanita laknat itu. Lalu siapa? Amora?" Jansen menggeleng. Dia terus berpikir sampai kepalanya rasanya buntu.

"Apa mungkin dia?" Jansen melirik Lana yang juga sudah tertidur.

"Nanti akan kupikirkan lagi. Dan besok akan kucari tahu," desah Jansen dengan pelan.

Dengan gerakan pelan, Jansen menggeser kepala Lana. Dia ingin memindahkan Loly ke kamar.

"Tunggu sebentar...." bisik Jansen sembari bangkit berdiri. Lalu dia melangkah menuju kamar Loly dan membaringkan Loly di tempat tidur. Jansen menyelimuti Loly, lalu mengecup kening putrinya itu.

"Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengganggumu, Nak. Ayah akan melindungimu dan juga ibumu." Usai mengucapkan itu, Jansen kembali ke ruang keluarga untuk memindahkan Lana ke kamar mereka.
Jansen menggendong Lana dan membawanya ke kamar. Dia membaringkan Lana dengan gerakan sepelan mungkin agar Lana tidak terbangun.

Jansen menatap wajah Lana yang begitu tenang dan damai. Dia mengelus pipi Lana yang halus.

"Lana, aku tidak tahu apa yang akan terjadi esok atau ke depannya. Tapi aku harap kau mau terus tinggal bersamaku. Karena kalau kau tidak ada. aku merasa ada yang kurang dalam diri ini. Lana, kau adalah pelengkap hidupku. Terima kasih sudah hadir dalam hidupku." Jansen membungkukkan tubuhnya, lalu mengecup bibir Lana dengan lembut.

★∞★

Semoga suka. Maaf kalo ada typo, ini sekian lama tak menulis :)

Jgn lupa di vote dan koment ya, xoxo
Terima kasih

2 Februari 2018
Ig: Naomiocta29 (follow kalo mau)

I Will Still Love YouDonde viven las historias. Descúbrelo ahora