Part 16

19.1K 1.8K 51
                                    

Di rumah Diamond
Pukul sebelas malam

Diamond menatap undangan mewah di depannya. Kini dia sudah sendirian di kamarnya lantaran tamunya sudah pulang. Begitu juga dengan Jansen dan Lana.

"Mereka akan menikah? Kenapa menikah tepat di hari lahir Azizalea? Siapa Lana sebenarnya? Kenapa Jansen tidak mau buka suara saat aku menanyakan tentang Lana? Apa kucari tahu saja?" Diamond melangkah mondar-mandir di kamarnya yang luas.

Dia menatap undangan berwarna putih gading di tangannya.

"Jansen juga menghindar saat aku mencoba menggali asal-usul Lana tadi. Dia langsung mengajak Lana pulang. Kalau dia mau menikahi Lana, bukankan harusnya dia tahu kehidupan Lana sebelumnya? Dan, kenapa Lana bisa mengenal Amora? Aku sangat yakin kalau Amora yang Lana maksud itu adalah Amora yang tinggal bersamaku selama ini. Apa jangan-jangan Lana itu...." Diamond semakin gelisah. Dia menjatuhkan undangan pernikahan Jansen dan Lana ke lantai.

Diamond mendekati nakas di samping tempat tidur, dia meraih telepon genggamnya. Mencari salah satu nomor di kontak telepon, lalu mengetikkan sebuah pesan singkat.

Tolong cari tahu siapa Lana. Lana yang akan dinikahi Jansen, keponakannya Lyan.

Setelah itu, dia mengirim pesan yang di ketik.

"Mereka mengatakan kalau Azizalea meninggal, tapi aku sama sekali tidak pernah melihat mayatnya. Amora mengatakan kalau Azizalea diculik. Siapa yang menculik? Kenapa aku merasa kalau Amora menutup-nutupi sesuatu? Misalnya, dia selalu mengatakan tidak bisa menemukan Azizalea, padahal aku tidak menyuruhnya mencari putriku. Bukankah ada hubungannya Amora dan Lana?"

Diamond menjatuhkan tubuhnya di ranjangnya. Dia berguling-guling di sana karena merasa bingung dan juga ada rasa senang yang bukan main di hatinya yang meledak-ledak.

"Apa Lana itu Azizalea?" Diamond tersenyum lebar. "Aku akan mencari tahu semuanya tentang Lana. Hah, aku datang saja ke acara pernikahan mereka." Diamond memejamkan matanya.

Dia sama sekali tidak bisa ingat bagaimana dulu dia kehilangan Azizalea, putrinya yang cantik jelita di saat masih bayi.

"Amora dan Amory. Apa mereka yang menculik Azizalea? Apa ibunya juga ikut?" Diamond memiringkan tubuhnya.

"Kalau hal itu memang benar, aku tidak akan memaafkan Amora dan ibunya. Aku juga tidak akan memaafkan Amory meski dia sudah meninggal!" Diamond meremas bantalnya dengan kuat.

"Besok aku akan datang ke rumah Jansen untuk menemui Lana. Semoga Lyan juga sudah pulang besok," desis Diamond, dia membuka matanya lebar-lebar, lalu memejamkan matanya lagi sampai dia tertidur.

★∞★

Di rumah Jansen
Pukul tujuh pagi

"Wah, Ibu kenapa datang pagi sekali?" tanya Lana yang membukakan pintu.

Lana menarik tangan Diamond masuk ke dalam rumah Jansen.

"Kau sendirian?" Lana mengangguk.

"Iya, Bu. Mereka baru saja pergi. Loly ke sekolah, ayahnya bekerja," jawabnya tersenyum lebar.

Lana membawa Diamond ke dapur, dia menaik-turunkan alisnya menatap Diamond.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Diamond tersenyum lebar.

"Bu, aku lapar. Apa Ibu bisa memasak? Soalnya pembanru di rumah ini sedang pulang kampung semua. Tadi juga ayahnya Loly hanya memasak untuk mereka berdua saja. Katanya aku tak boleh menyentuh barang-barang di dapur. Memang, sih aku tidak tahu memasak dan tidak tahu caranya meghidupkan kompor ini, hehe...." Lana mengembuskan napasnya karena banyak bicara.

"Aku bisa memasak. Kau ingin makan apa?" Diamond melangkah mendekati lemari es tempat penyimpanan bahan makanan mentah. Dia mengambil daging ayam mentah, brokoli, dan juga sosis.

"Ibu sangat cantik dan muda. Pakaian Ibu juga sangat cantik dan mewah. Pasti senang rasanya anak-anak Ibu. Punya Ibu yang cantik dan lembut." Diamond berhenti sebentar, lalu dia mulai membersihkan sayuran dan dagingnya.

Padahal dia sudah lama tidak memasak. Dulu, dia memasak hanya untuk suaminya. Kini dia memasak lagi dan itu untuk Lana.

"Aku tidak punya anak. Maksudku, putriku hilang dan aku belum menemukannya sampai sekarang. Padahal sebentar lagi dia genap tujuh belas tahun. Suamiku juga sudah lama tiada." Diamond terkesip saat tiba-tiba saja tangan Lana melingkar di perutnya. Lana memeluk Diamond dari belakang.

"Aku turut sedih, ya Bu. Tapi Ibu jangan bersedih terus, ya. Seperti aku, meski tinggal di hutan, meski tidak memiliki orangtua ... tapi aku tetap mencoba bahagia." Diamond tersenyum, dia merasa terhibur.

"Aku tak tahu bagaimana kau bisa tinggal di hutan, tapi yang pasti ... ada yang membuangmu di sana. Astaga, tunggu dulu!" Diamond menghentikan tangannya. Dia membalikkan tubuhnya dan menatap wajah Lana dengan seksama.

Degh, degh, degh....

"Siapa nama bibi yang kau bilang sering mengunjungimu dulu sebelum dia meninggal?"

"Aku memanggilnya bibi Valen." Diamond menatap mata Lana lumayan lama. Seketika dia menyadari sesuatu hal. Bahwasanya tatapan Lana sama persis seperti almarhum suaminya. Tatapan yang tajam dan tegas.

"Aku mengenal Valen. Valensia tepatnya. Lana, apa jangan-jangan kau ini putriku?" Lana membesarkan matanya. Dia meremas baju Diamond.

"Benarkah, Bu?"

"Ya, aku merasa seperti itu. Kau mengenal Amora dan Valensia. Kau sudah pasti putriku yang hilang. Putriku yang kunanti selama ini, Nak...." Diamond tak kuasa menahan air matanya.

"Dia bukan Ibumu, Lana!" Suara tegas itu membuat Lana dan Diamond menatap si pemilik suara.

"Apa maksudmu, Jansen?"

"Lana bukan putri Tante!" Diamond menundukkan kepalanya

"Tapi aku merasa kalau...."

"Tak apa-apa, Bu. Aku mau, kok jadi putrinya Ibu...." Lana memeluk Diamond, dia menjulurkan lidahnya pada Jansen.

★∞★

Vote dan koment kalau suka :) tinggalkan cerita ini kalau nggak suka (:

Semoga suka!
Terima kasih
25 Juli 2017

I Will Still Love YouWhere stories live. Discover now