Part 17 (New)

18.5K 1.6K 23
                                    

Di Rumah Jansen

Diamond melepaskan pelukan Lana, dia mengecup kening Lana penuh kasih sayang. Lalu dia melanjutkan memasak untuk Lana dan mengabaikan Jansen.

Lana mendekati Jansen, lalu mencubit perut lalaki di depannya ini.

"Dia mau menganggap aku sebagai anaknya. Kau jangan menghalangi! Aku, kan ingin sekali punya ibu. Tidak hanya Loly saja, tapi aku juga!" Lana mengerucutkan bibirnya, sebal pada Jansen karena ucapannya tadi pada Diamond.

"Tak apa-apa, Lana. Aku terlalu bersemangat tadi. Nanti akan kucari tahu semuanya, dan biarkan saja Jansen berkata seperti tadi. Dia bukan pria idaman bukan?" Lana mengangguk.

"Bu, kenapa Ibu cantik? Maksudku, Ibu masih sangat cantik meski sudah berumur." Diamond tersenyum, sementara Jansen merengut.

"Iya, kau juga cantik. Mirip seperti aku. Aku akan datang ke acara pernikahan kalian. Lusa, kan Jansen?"

"Pernikahan siapa? Siapa yang akan menikah?" tanya Lana kebingungan. Jansen hanya diam saja, sama sekali tidak berniat membuka suara.

"Kau dan Jansen menikah lusa!" Lana menggeleng.

"Dia tidak mengatakan apa-apa padaku, Bu. Hei, Paman! Apa yang dikatakan Ibu benar?"

"Hah, lihat saja nanti," jawabnya lalu pergi dari dapur.

"Dasar, menyebalkan!" Jerit Lana yang tak di dengarkan Jansen.

"Kalian sering bertengkar?" Lana mendekati Diamond, menatap Diamond yang lihai memasak.

"Iya, Bu. Dia itu galak sekali. Sebenarnya aku takut, tapi aku memberanikan diri melawan, haha...." Diamond ikut tertawa.

"Berapa usiamu, Na?" Lana mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan bahunya terangkat tanda dia tidak tahu berapa.

"Loh, kau tidak tahu?" tanya Diamond mengerutkan keningnya. Dia menatap Lana sekilas, lalu kembali fokus pada masakannya.

"Iya, ayahnya Loly mengatakan kalau sebentar lagi umurku genap tujuh belas tahun." Mendengar itu, kontan saja Diamond berhenti dan mematikan kompor. Dia menatap Lana dengan serius.

Dia menyentuh bahu Lana dan mengguncangnya pelan. "Tanggal berapa? Lana, apa Jansen mengatakan tanggal berapa?" Lana berpikir beberapa detik dan Diamond menunggu jawaban dari Lana tidak sabaran.

"Tanggal yang ada di undangan. Bu, apa Ibu punya undangannya? Kalau punya, aku boleh melihatnya? Soalnya paman Jansen tidak memberikan izin padaku melihat undangan itu. Memangnya itu undangan apa?"

Mata Diamond berkaca-kaca dan dia langsung memeluk Lana. "Tidak salah lagi, Lana. Kau sudah pasti putriku yang hilang, Nak...." Semakin erat dia memeluk Lana, bahkan sangat erat membuat Lana sesak.

"Bu, aku ... napas...." ucap Lana terputus-putus. Diamond melonggarkan pelukannya, dia tersenyum sambil menitikkan air matanya. Entah kenapa dia merasa lega, merasa beban di pundaknya selama ini menjadi ringan.

"Kau putriku. Azizalea, putriku satu-satunya," ucapnya pelan yang terdengar seperti bisikan.

"Namaku Lana, Bu. Bukan Azizalea, haha...." Lana mendorong Diamond sampai pelukan mereka terlepas. Diamond berusaha memeluk Lana lagi, tapi Lana malah memutar badannya membelakangi Diamond.

"Lana...." desah Diamond, senyumnya telah sirna, perasaan lega yang tadi dia rasakan berubah menjadi rasa cemas melihat raut wajah Lana yang memerah.

"Jangan mendekat, Bu!" Jerit Lana tertahan sambil memegangi perutnya.

"Tapi, Lana ... aku hanya....." Diamond tidak melanjutkan ucapannya saat Lana mulai melangkah.

"Maaf, Bu. Tapi aku harus ke kamar mandi dulu. Perutku sakit, sepertinya aku diare!" Lana berlari menuju kamar mandi yang ada di dekat dapur.

I Will Still Love YouOnde histórias criam vida. Descubra agora