Part 15

20.2K 1.8K 34
                                    

Rantauprapat, Labuhan Batu
Pukul satu siang

Jansen, Lana, dan Loly baru saja pulang dari sekolah. Acara di sekolah Loly sebenarnya belum selesai, tapi mereka pulang lebih dulu karena Lana sama sekali tidak bergairah.

"Ayah, terima kasih, ya. Loly senang sekali hari ini. Akhirnya Loly bisa pamerin Ibu ke teman-teman Loly yang suka mengejek Loly." Loly menjilat es krimnya sekali lagi, lalu dia membuangnya. Sekarang mereka ada di taman anak-anak di Binaraga.

"Kenapa di Buang, Ly? Kan mubazir makanan di buang seperti itu," protes Lana yang tak suka kalau makan di buang-buang. Dia teringat dulu bagaimana di hutan. Makan tak makan.

"Loly sudah kenyang, Bu. Sekali lagi, Loly tidak membuang-buang makanan lagi." Lana mengangguk.

"Benar, Lyly. Tidak boleh membuang makanan. Meskipun kita hidup berkecukupan, tapi kita coba lihat ke posisi orang yang tidak mampu. Untuk sesuap nasi saja mereka harus kerja banting tulang." Jansen mengelus kepala Loly.

"Uhh, biasanya Ayah tidak marah kalau Loly buang makanan." Protes Loly yang tidak terima.

"Mulai sekarang, Ayah akan marah. Mengerti?"

"Mengerti, Ayah...." Loly memeluk lengan Lana.

"Ibu memang hebat. Ayah jadi...." Loly menaik turunkan alisnya yang menurut Jansen itu sangat menyebalkan. "....jadi baik budi, haha...." lanjutnya sambil tertawa.

"Hmm, terserah Loly saja," desah Jansen dengan pelan.

"Ibu Lyan ke mana?"

"Tante sedang ada urusan penting katanya." Lana mengangguk.

"Ayah, Loly sudah tidak memanggil bibi lagi! Bibi jadi nenek. Loly tidak punya kakek dan nenek seperti teman Loly. Tidak apa-apa, Kan Ayah?" Jansen tersenyum, dia mengangguk saja.

"Bagaimana kalau kita pulang saja?" tanya Lana, rasanya dia ingin berbaring saja. Kepalanya pusing, padahal sudah minum obat.

"Iya, kita pulang saja. Pelan-pelan, Lyly!" Teriak Jansen yang langsung berlari menuju mobil. Loly hanya berhenti sebentar, lalu melanjutkan larinya.

Jansen berdiri lebih dulu, dia mengulurkan tangannya pada Lana yang kebingungan.

"Ayo, Lana...." ucap Jansen dengan pelan. Dia tidak suka melihat wajah lana yang pucat, bibirnya juga merah dan kering.

Lana menerima uluran tangan Jansen. Jansen bisa merasakan telapak tangan Lana panas, lebih panas dari tadi pagi.

Lana berdiri dan dia hampir saja terjatuh kalau Jansen tidak menahan tubuhnya.

"Pelan-pelan saja, ya." Lana mendongak, matanya terasa panas dan mulai memerah.

"Semua sakit," bisiknya. Jansen tidak mau ambil pusing, dia langsung menggendong Lana, dan membawanya ke mobil.

"Tolong bika pintunya, Na...." Lana mengangguk dan membuka pintu mobil. Jansen menunduk dan mendudukkan Lana di kursi depan. Dia berlari memutari mobilnya, lalu duduk di sebelah Lana.

"Mungkin kau demam karena perubahan iklim. Di hutan dingin, sementara di sini panas. Jadi, jangan khawatir, ya. Kau  tidur saja dulu."

"Ya, baiklah...." Lana memejamkan matanya, tapi dia tidak bisa tidur.

"Aku ingin bertemu dengan ibu. Ibu yang sebenarnya," kata Lana dengan tiba-tiba. Jansen melirik Lana, matanya masih terpejam.

"Lana, kau ingin bertemu dengan ibumu? Ibu kandungmu?" Lana mengangguk saja, dia tidak mau membuka matanya.

I Will Still Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang