Part 9

24.5K 2.2K 48
                                    

“Ketika seseorang terluka, mereka akan belajar untuk membenci” (Jiraiya)

Suara derap langkah kaki memenuhi pendengaran Jansen yang masih berdiri di depan jendela. Bahkan dia sangat tahu ada seseorang yang masuk ke kamarnya tanpa permisi.

Semakin dekat ... semakin dekat....

"Maaf karena aku masuk tanpa izinmu. Aku hanya ingin minta maaf soal kejadian tadi siang. Ng, kau tak keluar kamar sejak tadi, jadi aku khawatir."

Jansen membalikkan tubuhnya, menatap Lana dari cahaya remang-remang di kamar.

"Dari awal aku sudah tidak menyukaimu. Aku menampungmu di rumahku karena Loly dan tante Lyan. Kau dengar itu? Aku sama sekali tidak pernah mengharapkanmu! Kau tahu? Ibumu yang mata duitan itu sudah membawa pergi uangku!" Jansen melangkah dua langkah mendekati Lana. Lana mengerutkan keningnya.

"Itu tidak ada hubungannya denganku! Aku hanya ingin menikah denganmu. Lagi pula, tetangga sudah mulai membicarakan kita."

"Cih, pandai sekali mulutmu itu! Aku tak mau menikah dengan gadis sepertimu!" Jansen melangkah satu langkah lagi sehingga jaraknya dengan Lana sangat dekat.

"Lihat, tinggimu saja hanya sebatas daguku. Badanmu kurus dan tak berisi. Wajahmu pasaran, dan kulitmu kusam!" Lana mendongak, Jansen dapat melihat kedua bola mata Lana yang besar. Matanya begitu jernih.

"Kenapa kau membenciku?" Pertanyaan itu membuay Jansen mundur beberapa langkah. Dia membalikkan tubuhnya untuk menutupi perubahan ekspresi wajahnya.

"Hoi, Pak tua! Kenapa kau tidak suka padaku? Apa aku ada salah? Apa karena aku anak hutan dan bodoh? Kenapa kau sebegitu tak sukanya padaku? Apa bagimu aku ini seperti virus atau penyakit yang menjijikkan? Kenapa, hah?"

"Kenapa kau marah? Bukankah hak-ku untuk tidak menyukaimu? Berapa kali harus kukatakan padamu kalau kau bukan wanita idealku?" Lana mengepalkan kedua tangannya. Dia menarik bahu Jansen, lalu, dia memukul punggung Jansen tanpa ragu membuat lelaki ini menggerutu dalam hati.

"Ah, maaf ... aku tak sengaja. Aku terbawa emosi." Lana menunduk, tidak berani melihat Jansen.

"Dengar, Lana. Aku sudah memiliki seorang wanita yang sangat spesial untukku. Puas?" Lana menggeleng, tetap bersikeras.

"Kau pasti menyukaiku! Mungkin tak sekarang, tapi nanti ... saat keadaan sudah berubah. Awas saja kalau kau jatuh hati padaku, akan kutolak mentah-mentah! Dasar, tidak tahu diri!" Lana menendang kaki Jansen, lalu dia keluar dari kamar itu dengan santai.

"Dalam mimpimu!"

★∞★

Di luar kamar Jansen

Lana langsung berlari terbirit-birit menjauh dari kamar Jansen. Dia berlari menuju kamar mandi yang ada di dapur. Dia juga mengunci pintu dari dalam.

"Astaga, matilah aku! Aduh, kenapa sih dia itu tidak suka? Kenapa pula aku yang jadi marah-marah. Sepertinya aku tak bisa seperti Cinderella. Padahal, dia adalah lelaki pertama yang kulihat." Lana membasuh wajahnya.

Benar, saat Lisda membawa Lana dari hutan dulu, Lana sama sekali tidak pernah melihat lawan jenisnya secara langsung. Sehingga, saat Jansen datang ke rumah Lisda, orang yang pertama Lana lihat adalah Jansen.

"Aku merasa bukan diriku saat berbicara dengannya. Kenapa begitu? Beraninya aku bicara seperti tadi." Lana menatap wajahnya dari cermin. Dia mencoba untuk tersenyum lebar yang memperlihatkan lesung pipinya.

"Yah, bagaimana pun juga ... aku ini cantik. Pasti dia suka, tapi hanya malu mengakuinya. Hehe...." Lana menormalkan pernapasannya, lalu keluar dari kamar mandi. Dia menatap keluar jendela dapur. Cuaca mendung di sore hari membuat Lana langsung berlari keluar rumah. Tepat di belakang rumah Jansen.

"Ayolah, turunlah hujan...." Lana mendongak ke atas, menatap langit yang semakin mendung. Dia tersenyum lebar saat gerimis mulai menyentuh kulit wajahnya.

"Terima kasih...." ucap Lana dengan pelan saat gerimis berubah menjadi hujan deras.

Lana merentangkan tangannya ke udara, menikmati hujan yang membasahi tubuhnya. Lana sangat suka kalau hujan turun, dia suka aroma hujan. Setiap hujan, rasanya Lana belum pernah melewatinya sekalipun. Gadis itu merasa tidak sendirian dan kesepian saat hujan turun.

Lana meloncat-loncat dan juga lari ke sana-sini tanpa memedulikan sekitarnya. Tanpa menyadari orang di sekitar mengamati Lana, bahkan terpana melihat keceriaan gadis itu.

"Ibu sangat senang. Apa tidak apa-apa Ibu main hujan, Yah?" Tanya Loly yang juga menyaksikan Lana. Dia berada dalam gendongan Jansen.

"Biarkan saja, sepertinya dia sangat senang. Jangan di ganggu," ucap Lyan, Jansen hanya mengangguk.

"Tapi, bagaimana kalau nanti Ibu sakit?"

"Nanti kalau sudah selesai, kita beri obat," kata Jansen tanpa sadar.

Lyan batuk di buat-buat mendengar ucapan Jansen barusan.

"Ayah, apa boleh Loly ikut bermain dengan Ibu?"

"Tidak boleh! Loly masih kecil dan mudah untuk sakit. Tidak seperti ibu yang sudah kebal."

"Ayolah, Ayah...." Loly mengecup pipi Jansen, bahkan mengelus wajah sang ayah agar di beri izin.

"Astaga, anak ini benar-benar...." Jansen menurunkan Loly.

"Tapi hanya sebentar ya, Nak!" Loly mengangguk. Dia langsung berlari mendekati Lana.

"Ibu!!!" Jeritnya dengan sekuat tenaga. Lana membalikkan tubuhnya, tersenyum melihat Loly.

"Ibu, Loly ikut!!!" Lana mengangguk. Dia menggandeng tangan kecil Loly. Namun, belum berapa lama, hujan mulai reda membuat Loly cemberut.

Lana menggendong Loly, lalu membawanya mendekati Jansen dan Lyan.

Lyan memberikan handuk pada Loly. "Padahal Loly baru basah."

"Besok kalau hujan lagi, kita mandi hujan. Oke?" Loly langsung mengangguk.

"Cepat ganti baju. Dan kau Lana, datanglah sebentar lagi ke kamarku," kata Jansen dan dia pergi.

★∞★

Soal Amora, nanti ada saatnya ya.

Vote dan komen kalau suka :) tinggalkan kalau nggak suka :)

Terima kasih!
11 Juli 2017

I Will Still Love YouWhere stories live. Discover now