Part 20

18K 1.4K 28
                                    

Jansen membuka matanya yang terasa sangat berat, kepalanya masih pusing, dan tangannya terasa kebas. Dia membuka matanya lebar-lebar. Orang pertama yang dia lihat adalah Lana yang tertidur pulas dalam pelukannya. Wajah Lana terlihat jelas sangat kelelahan.

Degh....

Jansen menarik tangannya dengan pelan. Dia memerhatikan sekitar dada Lana yang terbuka, naik ke leher, dan berhenti di bibir. Dia tahu betul bekas di dada, leher, dan telinga Lana.

"Tidak mungkin!" ucap Jansen dengan pelan sambil menggeleng. Dia membuka selimut dan langsung saja dia terduduk.

"Ini tidak mungkin! Bagaimana bisa? Siapa yang memulai duluan? Tidak mungkin aku, ini pasti ulah Lana!" Jansen menarik pangkal hidungnya sambil mengingat-ingat kembali kejadian tadi malam. Dia melirik jam di nakas, masih setengah lima pagi.

Dengan cepat dia turun dari ranjang dan mengutip pakiannya dan Lana yang berserakan di lantai.

"Seingatku, aku mabuk. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi. Aduh, bisa-bisanya aku melakukannya dengan gadis bodoh itu!" Jansen terus bersungut-sungut sambil melangkah ke kamar mandi.

"Kalau pun itu terjadi, aku tahu Lana pasti memanfaatkan keadaan. Tapi, bagaimana kalau aku yang memulai duluan? Aduh! Aku sama sekali tidak bisa ingat!" Jansen membasuh tubuhnya dengan cepat.

Dia tidak ingin berlama-lama di kamar mandi, dia ingin menjauh dari Lana secepatnya.

"Bukan ini rancanaku! Aku hanya ingin menyiksa dia karena berani melawanku! Kenapa jadi seperti ini?" Jansen kini sudah selesai memakai pakaiannya. Dia melihat Lana sekilas, lalu pergi dengan buru-buru.

Tidak bisa dipungkiri, perasaan Jansen sedikit berbeda pada Lana.

★∞★

Di Rumah Sakit Jiwa
Pukul delapan pagi

Dania tertawa terbahak-bahak menatap ponselnya. Dia kini ada di kamar mandi agar leluasa menggunakan benda persegi tersebut.

Dia merasa sangat beruntung karena dipindahkan ke rumah sakit jiwa. Yang Dania tahu, Amora yang memindahkan di ke rumah sakit jiwa, entah bagaimana cara Amora memindahkan dia ke sana.

"Aku mendapatkan nomor telepon keponakanku. Tidak sia-sia aku mengirim mata-mata ke rumah Jansen. Hah, awas kau Jansen!" Dia sudah mengirimkan sebuah pesan singkat untuk Lana.

Dania mengerutkan keningnya saat mendapat telepon dari Amora.

"Ada apa, Amora?"

"Oh, baiklah. Bersenag-senanglah di situ. Serahkan semua padaku karena aku jauh lebih pintar darimu!" Dania langsung memutus sambungan telepon. Dia tersenyum kecut.

"Aku juga akan membunuhmu nanti, Amora. Lihat saja nanti setelah aku berhasil mengacaukan kehidupan Jansen! Kau sama sekali tidak berguna! Lebih baik aku memperalat Azizalea!" Dania mematikan ponselnya, lalu menyimpannya dengan aman di dadanya.

"Kita tunggu tanggal mainnya, kau akan kehilangan segalanya Jansen!" Tangannya mengepal, rasanya dia sudah tidak sabar lagi menghancurkan kehidupan Jansen.

★∞★

Di Rumah Jansen

Lana menatap nanar dirinya dari cermin di kamar Jansen. Dia tersenyum sekaligus menangis. Dia mundur lima langkah, lalu meraih ponsel yang diberikan Diamond padanya. Tadi malam Diamond sudah pamit pulang, tinggallah Lana sendiri. Karena juga Loly yang sudah mulai sibuk dengan sekolahnya.

Lana menatap benda persegi di tangannya, dia duduk di lantai. Bingung ingin melakukan apa pada ponsel itu. Padahal Diamond sudah mengajarinya.

Lana hanya sekedar melihat-lihat ponselnya saja. Dia bahkan mengabaikan satu pesan singkat yang masuk sejak beberapa jam yang lalu. Rasanya Lana sangat lelah dan ingin bersantai saja hari ini.

"Jansen mencintai Andrea? Kenapa namaku bukan Andrea ya? Apa bisa aku mengganti nama sesukaku begitu?" Lana menggigit bibirnya.

"Lalu, kapan Jansen akan mencintai Lana? Aduh, aku bosan sekali! Ke mana Jansen pergi? Apa dia mengingat kejadian tadi malam? Bagaimana kalau tidak ingat?" Lana bangkit berdiri, lalu dia keluar dari kamar Jansen.

Dia melangkah cepat menuju pintu utama dan keluar dari rumah dengan diam-diam. Lana berhenti melangkah saat merasa seseorang mengikutinya dari balakang. Benar, seorang wanita yang lebih tinggi dari Lana sejak tadi memang mengikuti Lana.

"Ah, siapa kau? Aku baru melihatmu di sini!"  tanya Lana sembari membalikkan tubuhnya.

"Oh, saya pelayan baru di sini. Tugas saya adalah untuk mengurusi Anda, Nona!"

"Tapi aku sudah besar, sudah bisa mengurus diriku sendiri. Kau tak perlu mengikutiku karena aku tidak nyaman kalau kau seperti itu!" Lana menatap wanita di depannya dari bawah sampai ke atas.

"Maaf sekali. Tapi saya diberi tugas seperti itu, Nona."

"Ah, terserah kau saja. Siapa namamu?" Lana menatap pelayan di depannya tidak suka.

"Raya, Nona." Lana mengangguk. Dia membalikkan badannya lagi dan melanjutkan langkahnya.

"Tolong jangan mengikutiku, Raya. Aku ingin sendiri!"

"Baik. Kalau ada apa-apa, segera panggil saya, Nona. Permisi...." Lana hanya mengangguk.

Saat Lana sudah sendirian, dia mempercepat langkahnya menuju ayunan yang ada di belakang rumah Jansen.

"Seandainya Jansen mencintaiku. Tapi itu tidak mungkin. Dia sangat benci padaku. Aku bahkan tidak tahu dia pergi ke mana, padahal kami menikah masih dua hari." Lana duduk di ayunan tersebut.

"Seandainya aku tahu siapa itu Andrea....."

★∞★

Semoga suka!

Vote dan komen kalau suka! :) tinggalkan kalau nggak suka! :)

Terima kasih!

I Will Still Love YouWhere stories live. Discover now