(23) Ucapan Yang Tersirat (?)

4.4K 267 7
                                    

Sudah direvisi

Assalamualaikum temen-temen..
Haeyooo lanjut nii, yakkali ada yang baca tengah malem begindang :D

***

Hujan gerimis mewakilkan perasaan perempuan yang tengah berdiri di balkon kamarnya, menikmati tiap tetes air hujan yang membasahi jemari putihnya. Raani memejamkan mata ditengah semakin derasnya hujan sehingga tiap tetes berkah dari tuhan itu tak lagi hanya membasahi jemarinya melainkan seluruh tubuhnya.

'Allah, bisakah aku lari dari kenyataan yang menyakitkan ini? Bisakah aku bangun dari mimpi buruk ini? Seandainya ini sebuah mimpi aku tak akan tertidur untuk merasakan mimpi buruk ini....'

'Tapi, ini adalah kenyataan. Kenyataan yang sudah menjadi takdirku... aku tak bisa lari, aku tak bisa menghindar namun bisakah aku berharap kelak bahagia karena semua ini?'

"Raani!" teriak suara perempuan yang sangat dikenal olehnya.

"Raani, ayo masuk dek. Nanti masuk angin, kamu sudah basah seperti ini, ayoo..." Raani hanya mengikuti langkah Adel yang menggenggam pergelangan tangannya.

"Kamu kenapa? Lama gak mandi hujan?" tanya Adel seraya sibuk menyiapkan air hangat untuk sepupunya itu. Raani masih saja diam tak berkutik. Adel mendekatinya, ia melotot sejenak begitu melihat mata bengkak Raani.

"Kamu nangis? Kenapa Ran? Kamu kenapa nangis?" tanyanya menangkup kedua pipi Raani.

"Mbak, pantaskah aku bertahan jika aku tahu bahwa itu menyakitkan?" Raani bertanya dengan suara yang terdengar seperti sebuah gumaman.

Adel bingung ia mendengar ucapan Raani namun ia kurang memahami maksud ucapannya.

"Menyakitkan? Bertahan? Maksudnya apa Ran, duh... salahkan aku yang gagal paham ini."

Raani tersenyum kecut, "Aku... lupakan Mbak, aku ingin ke kamar." Ia hendak berdiri namun tangannya ditahan Adel, "Ceritakan semuanya sama Mbak atau Mbak akan meminta Bunda untuk menanyakannya padamu?"

Helaan nafas terdengar di telinga Adel, ia tersenyum karena kini Raani kembali duduk. Ucapannya berhasil.

"Ada apa? Mbak akan kasih solusi dan gak akan memberi tahu Bunda. InsyaAllah."

Raani kembali menghela nafas lalu menceritakan semuanya, semua yang terjadi pada dirinya, kesakitan, kekhawatiran, ketakutan dan semuanya. Adel menganggukkan kepalanya setelah Raani selesai bicara.

"Itu hal biasa, Dek. Bahkan sangat sepele." ucapnya membuat Raani menoleh kearahnya dengan wajah kecewa.

"Kamu masih labil untuk paham dengan kondisi seperti ini. Karena kamu baru akan menginjak 19 tahun!" Adel diam sejenak sebelum kembali melanjutkan, "Mbak yakin mereka hanya bercanda... tentang Zakki yang berniat menikahi perempuan itu hal wajar, banyak kok yang seperti itu. Lagian itu hanya sebuah rencana anak remaja, Ran. Allah yang menentukan buktinya Zakki akan menikahimu bukan perempuan itu kan?"

Raani mencerna kata-kata panjang lebar sepupunya itu.

"Sudahlah, kamu terlalu takut karena kamu berkaca pada masa lalu orangtuamu. Yakinlah, takdir seseorang itu berbeda-beda Ran. Bahkan anak kembarpun berbeda takdirnya."

Raani mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan Adel kemudian ia mengangguk.

"Mbak yakin Zakki tidak jauh dengan Aleeta." Adel menepuk pundak Raani sebelum pergi ke kamarnya membiarkan Raani memikirkan kata-katanya.

***


Seminggu telah berlalu tak terasa kini di rumah Zakki maupun Raani sudah ramai keluarga yang hadir menginap. Semenjak kejadian yang membuat Raani sempat sakit hati pada Zakki, laki-laki itu semakin memberikan perhatian pada perempuan itu, ia tak akan membuatnya sakit kedua kali

Raani & Aleeta ✔(TAHAP REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang