« Part 9 - The Love in the Pain »

336 20 6
                                    

"Saatnya aku lelah untuk memperjuangkanmu. Dan saat ini juga aku akan membiarkan dan melepaskan perasaan ini, hanya aku dan hatiku saja tahu tanpa kau menyadarinya"

The Love ini the Pain ❤

"APA YANG MEMBUAT ALAM GAK PANTES DARI PANDANGAN AYAH?" Tanya Alam sedikit berteriak.

Pllaakk.
Tamparan Gibran seolah mendarat mulus di pipi Alam.

"Berani sekarang kamu sama saya!!" Teriak Gibran. " Ini pasti ajaran teman - teman berandal kamu itu kan??" Tambahnya.

"Mereka bukan berandal Yah, mereka itu temen Alam, mereka itu pengganti ayah disaat Alam jatuh!!" Jelas Alam.

"Berani kamu jawab saya, Alamsyah!!" Bentaknya sambil meninju sudut bibir anaknya menimbulkan robekan kecil disana. Alam menyeka darah segar yang mengalir.

"Alam lelah Yah. Kadang Alam fikir enak jadi Bihan, gak punya orang tua yang harus ngatur hidup mereka, tapi kadang Alam juga iri sama Fino, hidupnya tentram, Orang tuanya slalu peduli, dia didukung dalam segala hal pa, Alam iri!!!" Jelas Alam. Rahang Gibran mulai mengeras, ia mendorong Alam hingga jatuh.

Luka yang kemaren belum sembuh, yah malah dikasih luka lagi

"Kenapa kamu tidak tinggal bersama mereka saja??" Tanya Gibran pada Alam yang masih tersungkur.

"Karena Alam masih anak Ayah" Jawab Alam lemah.

Gibran mencengkeram baju biru putih Alam, membuatnya sedikit terangkat.

"Madih ngaku kamu anak saya Alam!!" Bentaknya lagi. Tiba - tiba dada kiri Alam terasa perih.

Persetan bila ini kematiannya, ia tidak peduli. Dadanya terasa semakin perih, ia kehilangan banyak oksigen hingga membuatnya sulit untuk bernafas. Gibran tak sadat dengan apa yang sedang durasakan oleh anaknya. Ia kini melepaskan cengkramannya membuat Alam jatuh dengan lemas.

Alam masih kesakitan menahan dadanya, ia juga masih berusaha menghirup oksigen. Nyeri pada tulang belakangnya mulai terasa. Ia tidak peduli apa yang akan dilakukan Gibran karena keadaan Alam pun sudah lemah.

Ia melihat siluet Gibran dengan remang - remang. Gibran sepertinya ingin menginjak tulang rusuknya. Alam pun sudah pasra bila hari ini dia mati. Ia sudah lelah menghadapi Gibran. Ia mulai merasakan kaki Gibran yang akan menginjakanya. Ia sudah siap apapun yang akan terjadi.

"Mas" Panggil sang mama kepada Gibran. Dewi fortuna masih memihak Alam sepertinya.

"Ada masalah kecil di perusahaan" Tambah Mamanya. Gibran urungkan niatnya untuk mematahkan tulang rusuk Alam. Ia berlalu pergi ke kantor diikuti dengan sang selir yang setia menemani.

Alam bangkit dari duduknya. Ia masih memegang Dada kirinya sambil sesekali meringis. Ia menghela nafas pelan.

"Kenapa gue gak jadi mati aja tadi, kenapa juga tuh penyabut nyawa ama nenek lampir dateng cepet!!" Desah Alam.

Alam meringis merasakan nyeri pada dada kiri dan tulang belakangnya.

"Ada apa sih ama gue?" Tanya Alam pada dirinya sendiri.

"Masa tiap hari digebukin papa, jadi kayak gini!!" Monolognya.

"Bunda, cuma kamu bun alasan Alam tetep tinggal di sini. Kenapa bunda harus pergi duluan sih, gak ngajak - ngajak Alam lagi, apa tiketnya limited edition ya Bun" Monolognya lagi.

Setelah nyeri pada dadanya membaik, Alam memutuskan untuk ke taman kota, dan bertemu dengan Bintang.

AlamsyahRizaldi: Kasih tau gue kebahagian itu kayak gimana karena gue udah mati rasa.

The Love In The Pain [COMPLETED]Where stories live. Discover now