Aksi tarik-menarik jilbab masih berlangsung, Aleeta sudah merasa tidak sanggup lagi menahan emosi pada perempuan di hadapannya ini sehingga dia mencengkeram pergelangan tangan gadis itu lalu dihempaskan sekuat mungkin.

"Berani juga ya lo! sini lo, gue enggak sudi liat jilbab yang ada di kepala lo! sok-sokan syari tapi kelakuan---"

Plak! satu tamparan dari Aleeta mendarat di pipi mulusnya, kemudian rasa panas mulai menyerang membuat gadis itu ingin sekali membalas namun suara Aleeta yang mampu mendirikan bulu kuduk membuat niatnya terurungkan.

"Saya bisa merendahkan diri kepada orang yang menghargai saya. Tapi tidak untuk orang yang menganggap diri saya lemah," ucap Aleeta dengan wajah amat menahan emosi yang meletup-letup.

"Saya diam bukan berarti saya enggak ada mulut untuk bicara namun saya hanya memiliki satu mulut dan dua telinga, akan lebih baik jika saya lebih banyak mendengar daripada banyak bicara ... apalagi bicara yang menghina orang lain."

Ketiga gadis itu menunduk, tak berani mengangkat kepala meski dalam hati terus mencibir dan ingin menyerang Aleeta.

Raani menyunggingkan ujung bibirnya, inilah yang dia suka pada Aleeta. Sahabatnya ini bisa menerima kelakuan orang yang jahat padanya tapi persoalan agama, seperti jilbab yang dia pakai direndahkan, sisi lembutnya akan melebur entah ke mana menggantikan sisi tegas dan menyeramkan miliknya.

"Sungguh saya enggak ada niat untuk merebut Habibi atau siapapun di kampus ini, saya enggak akan mencari perhatian manusia untuk kepentingan dunia semata. Saya mempunyai Allah, sangat lebih baik saya mencari perhatian-Nya daripada perhatian makhluk-Nya," lanjut Aleeta

"LO TUNGGU AJA TANGGAL MAINNYA! GUE BAKAL BUNUH LO!" Teriakan gadis itu membuat Aleeta terpaku kemudian tiga gadis itu melangkah pergi.

Aleeta mengusap dadanya kemudian. "Astagfirullah, Ran. Dosa enggak sih aku tampar gadis itu?"

Raani menyentuh pundaknya. "Insya Allah enggak, Al. Kamu berlaku benar!"

***

Faisal duduk merenung di kamarnya setelah percakapan dirinya dan sang ayah beberapa menit yang lalu. Papanya itu meminta dirinya segera pulang untuk perjodohan yang direncanakan papa dan sahabatnya.

"Papa mohon Fais. Cuma itu yang papa minta darimu, bahagia papa adalah melihatmu menikah dengan dia."

"Dia belum tentu setuju, Pa. Aku enggak jamin dia mau menerima ini."

"Fais ... dia pasti setuju, abinya yang minta semua ini. Papa yakin, dia pun sama sepertimu, sama-sama ingin melihat orang tuanya bahagia." Mendengar ucapan papanya, Faisal menghela napas berat. Dia yakin sangat yakin jika gadis itu tidak akan menerimanya, dia sangat menyayangi persahabatannya.

Oh Allah ... apa yang harus Faisal lakukan?

"Kenapa Fais?" Suara milik teman sekamarnya yang baru saja masuk membubarkan pikirannya. Menarik napas pelan lalu dia menjelaskan semuanya.

"Antum harus bersyukur karena Allah masih memberikan kesempatan untuk antum berbakti pada papa antum. Meski mama antum sudah tidak ada tapi ada papa yang harus antum sayangi dan bakti antum harus besar untuknya."

"Bagaimana dengan ana? orang tua ana sudah enggak ada di dunia sejak ana bayi, ana belum sempat memberi kebahagiaan buat mereka selain doa yang tak pernah putus untuk mereka di sana." Haris--namanya--menghapus tetesan air mata di wajahnya lalu menepuk punggung Faisal.

Tapi jika Faisal menerima semuanya apakah Aleeta mau menerimanya? jawabannya adalah TIDAK! Faisal yakin sekali.

"Antum tahu gadis yang mau dijodohkan sama antum?" Faisal mengangguk. "Lalu, kenapa antum risau?"

Raani & Aleeta ✔(TAHAP REVISI)Where stories live. Discover now