IL-50A-Wherever You Are

16.1K 1.1K 57
                                    

Maaf apdetnya lamaaa.... Kek kalian nungguin doi pekaaa.... Wkwk....😂 maaf lagi, mood ceritaku melebar ke mana², apalagi lagi nempel banget sama cerita Pamannya si kembar yang kembar juga😚

Judulnya AIR, jangan lupa mampir juga. Oke selamat membaca IL, dan kalo komennya banyaaakkk.... Aku bakal tambah usahain buat fast update😚😚😚😚😚😚

P.S. Aku nulis ini sambil dengerin lagu 5SOS-Wherever You Are, jadi judulnya ini aja😂

IL-50A-Wherever You Are

Rio dan Abby sedang membicarakan persoalan mereka di rumah, di saat Alden sudah hampir lelah menunggu Agatha Kusuma pulang ke rumah, atau setidaknya memberi kabar dia ada di mana. Alden cuma tahu dua tempat yang pacarnya sering kunjungi; pertama, makam kedua orang tuanya, kedua rumahnya sendiri. Tapi jika Lita tidak membalas pesannya; yang siapa tahu Atha nongol mendadak, maka artinya cewek itu tidak ada di sana. Beberapa kali kepala asisten rumah tangga Atha yang bernama Yurike, menyuruh Alden menunggu di dalam saja, tapi cowok itu keras kepala dan berujung mondar-mandir di teras rumah sambil dipenuhi rasa waswas. Kalau bisa, Alden pengin ke kantor polisi dan menyatakan Atha itu orang hilang, saking inginnya Atha cepat diketemukan.

Yurike datang lagi, namun dengan segelas teh hangat, agar Alden tidak sampai kedinginan sembari menunggu nonanya pulang. "Dia pasti baik-baik saja. Ini minum dulu."

Alden sempat terkejut, karena dia terlalu fokus berharap agar Atha memberi notifikasi kepada ponselnya, kemudian saat Alden melihat siapa yang berbicara, dia hanya bereaksi sekenanya.

"Oh," katanya, "Semoga."

"Nona Agatha pasti sebentar lagi pulang, jadi jangan terlalu khawatir. Dia memang suka pergi tanpa jejak, tapi ujung-ujungnya kembali lagi," tutur Yurike, dan dia berhasil mendapatkan tatapan bingung Alden yang sambil meniup teh pemberiannya.

"Jadi dia udah sering kayak gini? Ngilang?" tanya Alden.

Yurike mengangguk dan dia mengeratkan sweater yang membungkus tubuhnya. "Dia punya banyak hal yang harus dia lindungi, termasuk pacarnya. Jadi dia tidak mungkin bertindak yang negatif-negatif."

"Anda malah bikin saya tambah takut," kata Alden yang jujur, dia jadi merinding setelah mendengar perkataan Yurike.

Dia tahu, seberapa kesepiannya gadis itu, dan tentang masalah yang Atha pernah punya; depresi hingga gadis itu pernah mencoba untuk bunuh diri usai sadar bahwa dia telah menjadi orang yang sebatang kara di dunia ini. Ya, apa gunanya harta yang melimpah ketika orang yang kalian sayangi tidak ada lagi di sisi?

Yurike hanya tersenyum, dan dia menepuk bahu Alden, memberikan bentuk semangat agar cowok itu tidak perlu berpikir yang aneh-aneh, sebelum dia masuk lagi ke dalam rumah untuk mengurusi banyak hal.

Alden mengembuskan napas panjangnya sembari melihat punggung Yurike menjauh.

"Harusnya gue yang melindungi dia, bukan sebaliknya," gumamnya, yang kini sudah kembali berhadap agar gadis itu segera pulang.

Kalau perlu, Alden akan memasang tenda, supaya dia bisa jadi orang yang pertama memeluk Atha. Dia merasa bersalah; kenapa dia tidak jujur sepenuhnya kepada Atha, tentang impiannya yang lain; sekolah, menata masa depan, menjadi lebih baik daripada hari sebelumya. Mungkin bagi beberapa orang, semua ini terdengar sederhana, gampang, tapi Alden mengetahui apa yang gadis itu takuti, mimpi paling buruknya, yaitu; ditinggalkan oleh orang yang berarti apalagi untuk selama-lamanya, dan itu adalah sesuatu yang paling mengerikan yang tidak ingin dia alami. Sedih tahu saat ditinggalkan, apalagi orang itu tidak bisa kembali, sama halnya dengan menanti, tanpa kejelasan yang pasti.

Alden memilih duduk berselonjor di lantai dan dia menyandarkan punggungnya ke pilar rumah Atha. "Menunggu itu emang nggak enak, tapi lebih nggak enak lagi kalo orang itu nggak tau kalo dia ada yang tunggu."

Entahlah, Alden jadi merasa jika bulan di atas sana kayak lagi meledekinya bersama para bintang yang menghiasi langit Jakarta. Pasti bulan itu tahu di mana Atha berada, tidak seperti dirinya, yang tidak mungkin juga mewajibkan 24 jam lapor kepadanya. Emang Alden siapa? Pak RT gituh?

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Ada sebuah taksi yang tahu-tahu mulai masuk ke area rumah Atha, dan Alden langsung berdiri untuk menyambut Atha yang ada di dalam taksi itu karena kaca mobilnya hanya ditutup setengah. Akhirnya, Atha pulang, dan Alden sudah bisa bernapas dengan leganya.

Mobil taksi itu berhenti di depan Alden, dan Atha turun dengan tanpa mau memandangnya terlebih dahulu. Ah, Atha masih ngambek padanya. Tadinya, setelah Atha membayar ongkos taksinya, dia akan langsung masuk ke dalam rumah tanpa perlu bertegur sapa dengan pacarnya, tapi Alden tak akan membuat pergelangan tangan Atha kosong begitu saja.

"Dari mana? Jam segini baru pulang?" tanya Alden, dia berusaha tidak marah.

Iya. Dia sebenarnya marah. Tampang Atha cuek, dingin, dan siapa yang tidak kesal dibeginikan oleh kekasihnya sendiri? Kayak kehadirannya tidak dianggap sama sekali.

Atha tidak mejawab, dia tetap melanjutkan langkahnya yang sempat berhenti sebentar, dan dia tidak melirik Alden sedikitpun.

"Oh, bagus bener ya sikapnya... aku nungguin kamu dengan perasaan cemas yang membabi buta, dan kamu anggap aku kayak cuma pajangan aja?" Alden berdecak dan tentu dia mengikuti Atha masuk. "Bagus, bagus, nomor mati, nggak ada kabar. Siapa yang ngajarin sih? Pinter banget...!"

Atha jadi berhenti, tapi dia tetap tidak mau berbalik. "Abby yang ngajarin," katanya polos, "Tadi di sekolah, sebelum kabur."

Seketika itu jugalah, Alden ingin berkata-kata kasar sambil menyebutkan nama saudari kembarnya. "Terus kamu mau-mau aja gitu ngikutin ajaran sesat dari dia?"

Atha mengangguk jujur lagi. "Iya. Katanya biar kamu sama Rio sadar, kalo sebenarnya kalian suka berbuat jahat ke kita ... menuduh, dan menyembunyikan sesuatu yang sebenarnya pantas-pantas aja buat dibagi bersama."

Seperti tertampar, seperti itulah keadaan Alden sekarang ini. "Aku ... aku bukannya nggak mau cerita, aku cuma nunggu saat yang tepat."

"Kapan tepatnya? Saat beasiswa itu udah beneran ada di tangan, atau setelah lulus? Atau pas udah dapat tiket ke luar negerinya sekalian?" Atha berbalik dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Aku juga bukannya mau menghalangi kamu buat sekolah jauh. Tapi seenggaknya tuh cerita sama aku...."

Oke, di sini Atha sudah mulai menangis sesenggukan, rasa sedih yang sama mendalamnya ketika pernah ditinggalkan, dan Alden jadi kelabakan melihatnya. Ini pertama kalinta dia melihat Atha menangis karena dirinya, secara langsung, jadi dia tidak pikir panjang untuk mendekati gadis itu, ingin membuatnya nyaman berada di dalam pelukannya.

"Jangan nangis, tolong," kata Alden yang hatinya serasa teriris setiap kali dia melihat buliran air mata Atha turun membasahi pipinya. "Maaf, maaf."

Atha sudah ada di dalam dadanya. "Ini ... bukan nangis ... ini kelilipan!"

Tadinya Atha tidak mau menangis di depan pacarnya, dia tampak seperti gadis yang cengeng sekarang. Namun kelanjutan kisah cintanya dipertaruhkan di sini, hanya Alden yang ada di hatinya, dan dia tidak mau tempatnya digantikan orang lain; sampai kapan pun.

"Kelipan apa?" pancing Alden sambil mengelus kepalanya.

"Keli ... lipan cin ... cinta," sahut Atha yang memakai kemeja sekolah Alden sebagai tisu dadakannya.

"Cintanya siapa?" lanjut Alden yang malah jadi mengisengi pacarnya.

Atha jadi mencubit perut Alden perlahan. "Kamu."

~•••~

(Ongoing) Invisible LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang