IL-33-Terbakar [Abigail]

35.9K 2.9K 71
                                    

Il-33-Terbakar [Abigail]

Dipikir lagi, tidak mungkin aku masuk kelas Enstein. Jurusannya berbeda, Enstein untuk anak-anak IPA dan aku sudah terjebak di jurusan IPS. Pantas saja Bu Shinta mengernyitkan dahi.

Bel istirahat pertama sudah berbunyi semenit yang lalu, aku merenggangkan kedua tanganku ke atas sambil menguap selebar yang aku mampu. Tiga jam pelajaran sudah kulalui dengan konsentrasi penuh. Biasanya aku menganggap enteng pelajaran. Seringnya aku memilih tidur disaat guru sedang menjelaskan materi. Tapi, sekarang aku berpacu dengan waktu. Berhubung masalahku dengan Rio sudah kuanggap tuntas, aku ingin masuk ke deretan tiga besar. Aku kembali menjadi Abigail si Kutu Buku yang cantik jelita. Seperti itulah Papah menyebutku saat aku masih SMP.

Aku pun mengedarkan pandangan dengan perut yang keroncongan, semua teman sekelasku sedang berlomba-lomba keluar dari kelas.

Aku kelaparan karena ulahku sendiri. Aku yang belum mau mengakui status baru kami di depan Lita, serasa melakukan back street. Makanya aku tidak ikut sarapan pagi hari ini. Si Kutu Kupret itu sangat digilai oleh adikku. Aku belum siap melihat Lita menangis guling-gulingan di lantai karena pangerannya telah kurebut. Lagipula aku juga belum terbiasa menghilangkan embel-embel 'kutu kupret' dari nama Rio.

"Abby! Ayo kantin! Kantin yuk!" ajak Lora yang tiba-tiba ada di samping mejaku.

"Oh, oke," jawabku ragu. Bukan, bukan karena ragu pergi ke kantin melainkan ragu jika menceritakan status baruku dengan Rio terhadap Lora. Aku cukup tahu seberapa getolnya Lora mengajak Rio nge-date.

Sebelum mengangkat pantat, aku melihat ke pojok ruang kelas. Atha mendapat giliran duduk di pojok minggu ini, dan aku duduk dua baris ke kanan dari posisinya.

"Jangan bilang lo mau ngajak dia, By?" Ucapan Kika menyentakku. Dia sedang menautkan alisnya dengan tatapan yang menghakimi.

Waduh, masalah cewek lampir ini juga gimana?!

"Ga diajak juga dia bakal ke kantin. Iya ga, Tha?" ujarku.

Atha mendongakkan kepalanya, dia menyengir kuda. "Ga ke kantin."

"Serius?! Tapi kalo ga ke kantin ka..., ka...." Aku menggaruk kepalaku, bingung mencari kata yang tepat untuk menutupi panggilan 'Kamu' untuk Atha.

Semua makhluk hidup di kelas tahu bahwa Kika amat memusuhi Atha. Alasannya, tentu karena Alden. Kika juga menyukai kembaranku lalu Lora menyukai pacarku.

Hubungan yang sialan.

"Ka? Ka apa, By?" sekarang tatapan Kika mencurigaiku.

"Kasihan! Kasihan cacing di perutnya Atha kalo ga dikasih makan," jawabku super asal-asalan. Aku segera merangkul kedua pundak kawanku, "Udah ah! Ayo kita serbu kantin!"

Ucapanku lumayan bisa menahan mulut nyirnyir Kika meskipun aura lampirnya tetap terasa.

Beberapa langkah sebelum aku keluar kelas, aku menyempatkan menoleh ke arah Atha dan menggerakkan mulutku, "sorry," kataku tanpa mengeluarkan suara.

Atha menunjukkan jempolnya. Aku harap itu tanda, 'Okay' atau, 'Iam alright'.

Sumpah! Aku merasa bersalah. Kini rasa bersalahku berlipat ganda, rasa bersalah karena aku belum mampu membela pacar adik kembarku.

(Ongoing) Invisible LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang