IL-47B-Gone

22.9K 1.4K 103
                                    



IL-47B-Gone


"Nelpon?" Abby mendengar ponsel Atha berdering juga seperti miliknya.

Atha mengangguk. "Nelpon."

"Enggak usah diangkat." Abby lagi jadi kompor.

Rio menelepon dirinya, dan dengan sengaja tak diangkatnya. Dia tidak mau terlihat jual mahal sendirian, jadi dia menyuruh Atha untuk melakukan hal yang sama. Padahal Atha adalah tipe cewek yang tidak bisa marahan lama-lama dengan Alden - pacarnya, namun untuk saat ini, ada alasan untuk tidak menjawab panggilan Alden dengan cepat, seperti biasanya. Kalau Atha hanya sedang diliputi kecemasan, maka Abby lagi ngambek beneran.

"Biar tuh cowok-cowok pada mikir, apa yang mereka lakuin ke kita itu jahat," lanjut Abby, sambil manyun-manyun.

Dia merasa tertuduh oleh perkataan sekaligus tatapan mata Rio, ini kayak difitnah, dan siapa sih manusia di dunia ini yang mau difitnah?

Abby dan Atha naik taksi, dengan tujuan yang tidak jelas. Di sisi lain, tangan Atha mulai gatal untuk menggeser bulatan hijau ke samping, ia tahu Alden pasti ingin menjelaskan sesuatu. Ia hanya takut, jika pada akhirnya, dialah yang tidak bisa menerima penjelasan apa pun.

Atha menghempaskan punggungnya ke jok mobil. "Jadi orang pinter itu enak ya, By?"

Abby sudah siap untuk mematikan ponselnya, tapi ada pesan lain yang membuatnya gagal menonaktifkannya. "Enak gimana?"

"Ya gitu," Atha melempar pandang ke luar jendela, mengamati bagaimana padatnya siang hari ini, "Dapat pujian dari guru, terkenal, dan udah tau mau jadi apaan ke depannya."

"Gue pinter," kata Abby sambil mengetikkan sesuatu, "Tapi gue sendiri aja bingung mau jadi apaan."

"Kok bisa?" Atha menengok.

"Gue belum nemuin sesuatu yang bikin ketagihan," Atha menyengir seraya menoleh ke Atha, "Kecuali cintanya Rio tentunya."

Baru kali ini, rasanya Atha ingin membeturkan kening Abby ke jok mobil, karena jawabannya tidak ditanggapi serius. Ya, lagi pula, kapan mereka pernah benar-benar serius untuk mengobrol? Bersama Abby, Rio, Alden, dan Sam, Lita sekalipun, Atha selalu bisa tertawa. Satu hal itulah yang membuatnya cemas kalau Alden akan menjadi jauh darinya adalah, dia takut kalau dirinya tak akan bisa tersenyum atau bahkan tertawa lagi. Ia sudah kehilangan orang-orang yang dia sayangi, jika dia harus kehilangan satu lagi, biarpun cuma sementara, tetap saja begitu sulit untuk dilakukan.

Tak ada seorangpun yang ingin ditinggalkan, karena itu bisa membuat mereka berakhir menyedihkan.

Abby berharap, Atha akan tertawa, karena jawabannya tadi bermaksud candaan saja, namun ekspresi Atha tetap biasa saja, jadilah Abby merasa garing.

Abby berdeham. "Cita-cita itu kayak cinta, bakal dicapai kalo emang beneran suka."

Atha mendengarkan.

Abby menerawang. "Yang lo suka apaan, Tha? Yang paling lo merasa kehilangan juga?"

Gadis yang dia ajak bicara, sedang membuat lingkaran-lingkaran kecil di jendela menggunakan telunjuknya. "Tiap gue sedih, atau bahagia. Gue bakal duduk sendirian di kamar, terus ... pegang kuas."

Abby menjentikkan jarinya saat dia mengingat sesuatu. "Oh iya! Lo suka gambar ya?"

Atha mengangguk. "Suka banget. Banget ... kayak gue sayang Alden."

Perkataan Atha, nadanya terdengar jujur dan tulus. Abby berpikir kalau gadis di sebelahnya memang polos soal perasaan, kalau dirinya jangan ditanya. Dia sebelas dan dua belas sama Emaknya.

"Enggak mau lo lepasin? Kan?" Abby kembali memandang layar ponselnya yang bersinar.

Atha menggeleng. "Enggak. Enggak mau gue lepas atau gue tinggalin."

Sebuah tangan menepuk bahu Atha dan membuat cewek itu menoleh. "Ya udah. Pertahankan, cinta dan cita-cita elo."

Saat ini, Abby juga sedang menorehkan senyum ketulusan di wajahnya, entah Atha mengerti atau tidak, Abby menyuruh agar gadis itu jangan pernah melepaskan Alden, jika dia benar-benar menyayanginya.

"Ini kita udah sampe di lampu merah, Nona-nona," suara si supir taksi membuat kedua gadis itu menoleh bersamaan, "Nona-nona mau diantar ke mana ya?"

"Rumah adiknya alien," jawab Abby, dan dia menyengir lebar, lalu Atha mengerutkan keningnya.

~°°~

Mobil taksi yang sudah membawa Atha dan Abby pun menjauh, kedua orang itu tiba di depan sebuah rumah berlantai dua, yang gerbangnya ditutup rapat. Abby tampak santai saat dia memasukkan sandi kunci rumah ini, dan Atha bisa menyimpulkan jika rumah ini adalah milik seseorang yang dekat dengannya.

"Rumah...?" Atha bertanya dengan nada memancing sambil menunggu Abby berhasil membuka password gerbang.

Saat gerbang rumah itu terbuka, Abby menjawab, "Rumah Paman gue," dia pun mengandeng tangan Atha untuk masuk, "Tadi dia chat gue. Nyuruh gue mampir ke sini sekalian buat ambil oleh-oleh."

Atha ber-oh ria, seraya mengikuti langkah Abby. Baru kali ini, Atha akan bertemu dengan anggota keluarganya Alden yang lain. Atha hanya mengenal orang tuanya, dan Lita.

"Terus, lo bilang rumah adiknya alien, maksudnya apaan?" tanya Atha.

"Paman gue yang kedua, dari pihak Mamah, itu suka dipanggil alien gitu deh sama beliau, jadi kalo gue ke sini, itu artinya sama aja gue main ke rumah adiknya alien. Mudeng enggak?" tutur Abby, dan Atha malah hanya mengangguk ragu.

Abby mendesis. "Ah lo mah. Nggih doang, tapi paling enggak konek."

"Keluarga lo rumit," balas Atha, agak tak suka dengan timpalan Abby barusan, yang sama saja sedikit meremehkannya.

Atha saat ini lagi sensi, jadi ucapan Abby barusan, dia bawa masuk ke hati.

"Bukan," Abby menggeleng, lalu menekan bel rumah, "Keluarga gue rame."

Tak perlu menunggu beberapa lama, hingga pintu kayu itu terbuka. Ada seorang wanita dengan rambut panjang sebahu menyambut Abby, dan di tangan wanita itu ada kue kesukaannya.

"Wah Tante!" mata Abby berbinar, melihat isi piring itu, "Abby disambut pake kue mochi.

" Lama kamu sayang," kata wanita itu, dan dia menggeser posisi piring bawannya saat dia lihat jika Abby ingin mencomot satu. "Mau tante abisin sendiri ah...."

Wanita itu tertawa mengejek saat dia melihat wajah keponakannya yang dibuat cemberut.

Abby pun melangkahkan kakinya masuk sambil merengkek. "Tante! Abby mau kuenya! Abby laper ih!"

"Laper makan nasi," kata wanita itu, "Bukan makan kue!"

Abby mencoba meraih piring itu. "Tante Mikha! Abby laper seriusan! Karena bertengkar juga butuh tenaga...!"

Mika langsung tergelak. "Bian! Ponakanmu lagi baperan!" Dia berteriak memanggil suaminya.

Atha masih mematung, dia hendak menyapa, tapi situasinya seakan berkata kalau dia adalah orang asing, yang bisa bebas untuk pergi, dan mungkin tidak perlu untuk kembali, daripada dia berakhir terlalu menyayangi, dan takut untuk kehilangan lagi.

~•••~

Masih ada 10 bab lagi sebelum beneran end, semoga gak bosen ya...................

Uhmm... Mo nanya, kira² kalo Invisible Love jadi buku... Mau happy or sad, or cliffhanger ending? Wkwk😄😄

(Ongoing) Invisible LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang