IL-44-Their Fear

22.1K 1.5K 37
                                    


IL-44-Their Fear

"Delapan puluh." Hasil akhir yang Alden sebutkan, membuat gadis di depannya membelakkan mata tak percaya. Keduanya pun jadi mengulum senyum, dan tangan Alden menjamah puncak kepala kekasih tersayangnya.

"Kemajuan drastis," katanya.

Atha mengangguk setuju, mendengar pujian dari pacarnya itu.

Daripada yang dulu, Atha memang telah mengalami banyak kemajuan. Dari segi percintaan, dan sekarang bagaimana ia bisa menyerap pelajaran dengan cepat dan benar.

Bukankah begini enaknya punya pacar? Bisa jadi motivasi dalam belajar? Bukannya jadi penghambat masa depan?

Ah, Atha tak suka saat tahu-tahu melihat perubahan ekspresi Alden yang tadinya menyunggingkan senyuman termanis, kini perlahan memudar, namun tetap berusaha memperbaikinya. Apa ini? Senyum yang dipaksakankah?

"Kamu ... kenapa?" Atha memberanikan diri untuk bertanya.

Atha adalah perasa, dia merasakan adanya kejanggalan dari tatapan mata Alden. Apa yang cowok itu sedang pikirkan, sepertinya tampak berat untuk ia simpan sendiri.

"Gak ada apa-apa," jawab Alden, menutup-nutupi segalanya.

Ingin rasanya Atha memaksa Alden untuk mengatakan yang sejujurnya, karena ia percaya, di dalam suatu hubungan, harus didasari dengan adanya keterbukaan. Sayangnya, ada makhluk hidup yang menganggu mereka berdua.

"Kampret!" Rio datang dengan muka sekecut-kecutnya.

Tangan sudah tak lagi mengusap lembut kepala Atha, namun mengambil buku paket Matematika yang tebal, dan memukulkannya asal ke bahu Rio.

"Lo yang kampret, ini perpustakaan bego!"

Tentu saja, umpatan Rio tadi membuat meja mereka jadi pusat perhatian.

"Sakit bego!" balas Rio, seraya mengusap bagian bahunya yang sakit.

Pukulan Alden begitu mantap mengenainya, tapi yang jadi masalah bukan itu sekarang. Tapi hal yang lain, yang membakar hatinya, membuat dirinya merasa gerah, di tengah mendungnya kota Jakarta.

Makanya punya mulut dijaga. Ini perpus, coy." Alden mengingatkan, meski ia yakin, kalau Rio bakalan masa bodoh saja.

Pandangan Rio yang ingin balas dendam soal adegan kekerasaan dalam hubungan ipar ini; terhadap Alden, beralih ke muka heran Atha.

"Ish, gue iri sama lo berdua," tutur Rio tiba-tiba.

"Hah?" Alden kini jadi heran juga. "Iri bagian mananya?"

Rio melempar punggungnya ke sandaran kursi. "Ya gitu deh, enak gituh, duaan mulu. Lah gue? Abby ilang-ilangan."

Bukannya memberi rasa simpati, yang ada, Alden dan Atha malah menertawai muka cemberut Rio. Muka seorang cowok, yang menginginkan quality time bersama kekasihnya - muka minta waktu buat manja-manjaan!

"Napa lo pada ketawa? Anjir, gue ini lagi curhat, seharusnya lo pada melas sama gue...." Rio tak tertawa, kalau ujung-ujungnya ia jadi bahan tertawaan.

"Sumpah ya, ini kalo Sam liat keadaan elo, dia yang paling bakalan ngakak kenceng banget!" Alden terkekeh-kekeh hingga memegangi perutnya. "Dan dia bakalan bilang najis, najis, najis!"

Semua orang tahu jika Rio adalah tipe cowok yang manja, tapi tak ada yang menyangka kalau semenjak berpacaran dengan Abby, sifat itu menjadi bertambah berlipat-lipat ganda.

"Sialan." Rio mendesis tak suka dengan keyakinan Alden, bahwa Sam akan berlaku sama sepertinya; menertawai tingkah lakunya.

"Omong-omong emang si Sam ke mana?" tanya Atha dengan polosnya.

"Oh, dia lagi nyari info tambahan beasiswa buat kita," sahut Alden spontan, dan jadi tak ingat kalau seharusnya ia menutup-nutupi masalah ini dari Atha, sampai waktu yang ia sendiri belum tentukan, saking terpingkal-pingkalnya.

Dahi Atha mengerut sempurna, namun masih dengan wajah bloon khasnya. "Beasiswa? Buat siapa aja?"

Mendengar lontaran pertanyaan dari Atha, tawa Alden langsung lenyap, dam Rio menjadi merasa ada di posisi yang salah, apalagi saat melihat bibir Alden menyimpulkan sebuah kata umpatan dalam bahasa Inggris.

Memang bukan salah Rio, ini salah Alden sendiri, namun cowok itu tak enak hati kalau terlalu lama berada di sini. Niatnya untuk curcol, nanti malah tergantikan dengan hal lainnya, seperti melihat sepasang kekasih bermusyawarah demi kelangsungan hubungan mereka.

"Aduh, perut gue sakit!" Rio pura-pura memegangi perutnya yang bukannya sakit sih, tapi lapar.

Niat lain yang Rio punya adalah mencari Abby, dan makan sepiring berdua di kantin, tapi ceweknya itu malah sibuk di ruang OSIS. Sebuah ruangan yang takkan sudi Rio datangi, jika situasinya tidak terlalu mendesak.

"Siapa yang mau dapet beasiswa?" Atha bertanya lagi dengan keluguannya.

Alden memberi kode lewat tatapan, agar Rio jangan pergi, setidaknya temani dia untuk mengatakan yang sejujurnya kepada Atha. Sayang, si kutu kupret itu sedang tidak ingin mengacuhkan kesulitan Alden saat ini.

"Itu ... anu ....," kata Alden sembari memegangi bahu Rio-cowok itu hendak kabur.

"Stay di sini, atau lo gak bakalan dapet restu gue," bisik Alden, dan Rio pun kembali duduk di sini, di antara dua manusia yang berbeda IQ, namun sekarang sudah menjadi sehati.

Cewek yang dulu sukanya mengejar, kini orang yang ia kejar, takkan mau melepaskan tangannya.

"Siapa yang dapet beasiswa?" tanya Atha untuk ketiga kalinya.

Alden mengambil napas sedalam mungkin, dan di dalam hati, ia bertanya kepada Tuhan, jika dulu Atha sepintar dirinya, mungkin statusnya tetap menjadi jomblo, ya kan?

"Buat a ... aku," jawab Alden, dengan ketakutan yang ia pikirkan, jika suatu saat dirinya dan orang tersayangnya akan berpisah.

"Oh," balas Atha, dan ia tak menampilkan perubahan ekspresi apa pun, "Itu bagus. Buat masa depan kamu," katanya lagi.

Bagus buat masa depan, tapi tidak bagus untuk masalah hati.

"Gue mules beneran deh," gumam Rio, ia yang malah berkeringat dingin, karena tiba-tiba situasi semakin terasa hening.

~•••~

Vote and Comment?

Well, semoga masih ada yang nungguin dengan semangat membara!

Rio datang lagi, dan ada yang kangen Lita....?! Wkwk....

(Ongoing) Invisible LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang