IL-25-Maybe [Abigail]

36.4K 2.8K 71
                                    

IL-25-Maybe [Abigail]

Aku terbangun karena sibakan gorden yang dilakukan oleh Mamah. Aku mengerang dan sedikit demi sedikit sadar jika semalaman aku tidur di perpustakaan. Oh, bukan, kita berdua. Kita... Atha dan aku. Sedikit demi sedikit aku juga mengingat hal apa yang membuat aku tidak bisa membereskan sembilanpuluh lima soal dengan cepat. Aku kembali menempelkan pipi ke meja.

"Abby, ini udah jam enam pagi. Bangun anak mamah yang jorok." Tuh, gitu tuh. Mamah terlalu jujur!

Harusnya ya gini: "Bangun anak mamah yang cantik."

"Loh, Atha masih ada di sini? Mamah kira Alden pergi buat nganterin Atha." Mamah melongok melihat Atha yang masih tidur damai, "kok Atha ga disuruh tidur di kamar tamu. Kamu gimana, Abby!" hidung Mamah mengeluarkan asap.

Ya, kalau di kartun, mungkin akan begitu.

"Namanya juga ketiduran, Mah. Emang Al pergi ke mana?" balasku.

Mamah menggeleng. "Ga tau. Bangunin Atha gih. Siap-siap sekolah, kalo udah, ajak sarapan bareng," ucap Mamah kemudian pergi.

Aku melihat Atha masih memakai seragam. Seragamnya bau dong kalau dipakai lagi?

"Ah, pelajaran pertama entar olahraga. Gue pinjemin seragam cadangan gue ajalah," gumamku.

Mana mungkin menyuruh dia balik ke rumah, yang ada nanti dia sampai sekolah telat. Aku belum tahu rumahnya Atha ada di mana. Tapi, pasti waktunya tidak akan terkejar.

Aku menepuk-nepuk pelan bahu Atha. "Tha, bangun. Bangun, Agatha."

"Ehmmm... iya... Ya...." Atha membuka kelopak matanya. Dia menyapu pandang, kurasa dia sedang mengingat tempat di mana dia berada.

Pendiam begitu, Atha menyimpan rahasia Rio.

Rio mencintai seseorang.

"Gu ... gue masih di rumah lo, By?"

"Ya," jawabku singkat dan tiba-tiba aku badmood.

++++++

Di meja makan tadi, Pak Bara tidak hadir dalam acara sarapan pagi. Beliau ada di luar negeri untuk pekerjaan sekalian bertemu dengan sahabatnya yang lain, Om Gerald. Hanya ada Ibu Ambar yang baru kusadari matanya jadi mata panda. Tanda-tanda beliau lelah mengetik cara marathon untuk novelnya. Mamah tidak bisa ikut karena pekerjaannya dan menjaga kita bertiga.

Papah punya empat sahabat yang hubungannya terjalin erat dari SMP sampai sekarang. Pertama, Om Gerald yang menetap di luar negeri karena menikah sama orang bule dan bulenya tidak mau mengalah tinggal di Indonesia, mereka memiliki dua anak. Aku, Alden, juga Rio tidak begitu dekat dengan anak-anak mereka. Alasannya karena anak-anak mereka masih umur duabelas tahun dan sepuluh tahun. Lalu ada Om Hengki yang bolak-balik kawin cerai, tapi cuma punya satu anak. Itu pun anaknya umur lima tahun. Sekarang, tidak tahu istrinya Om Hengki siapa. Dia tinggalnya di Bekasi dan jarang main ke sini. Ada lagi, Om Ruben yang gantengnya ... ohemjih ... punya anak satu berjenis kelamin cewek yang umurnya tujuh tahun. Om Ruben tinggal di London bersama keluarga kecilnya. Litalah yang dekat dengan anaknya Om Ruben dan Om Gerald. Terakhir, Om Joni alias papanya si Rio itu.

"Gue sama Atha." Alden memilih memboncengi Atha. Wow, pagi-pagi sudah modus. Oh iya, kita berempat sedang membahas masalah siapa yang membonceng siapa ke sekolah. Tapi pikiranku sempat menerawang merindukan Papah sekaligus merindukan isi dompet beliau. Tch, dompetku boleh harganya mahal, tapi sayang hanya sedikit isinya.

(Ongoing) Invisible LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang