Prolog

5.9K 330 52
                                    

"Karena rindu tidak pernah tahu pada hati siapa ia akan membelenggu dalam setiap sendu"
~Sendu Merindu~

"Berhenti!"

Aku menggigit bibir, berusaha keras mengabaikan perintah lelaki yang amat kurindukan itu. Tidak. Terlebih saat kurasakan air mata telah jatuh di pipiku, mengiringi setiap langkahku yang kaku. Menyuarakan hati yang amat terluka karenanya lewat tetesan air mata. Sebab, suara, aku tak sanggup lagi bicara. Ah, beginikah sakitnya menyimpan rindu? Terlebih pada seseorang yang tak sekalipun melihatku.

"Saya bilang berhenti, sialan!!!"

Dingin yang berasal dari suara seraknya membuatku terpaku seketika. Tak pernah mampu mengabaikan dirinya sekalipun berulang kali ia menghunjam luka. Aku bahkan hanya mampu menangis tanpa suara sambil menunduk dalam meratapi semua duka. Berharap Tuhan mengirim kekuatan padaku segera. Setidaknya, untuk menghadapinya.

"Allah, tolong aku," pintaku lirih.

Namun, tidak. Aku tak boleh begini. Atau, lelaki itu akan menang dan terus menyakiti hati.

Mengusap air mata kasar, aku menggersah panjang. Menatap langit petang berharap air mataku tak lagi berlinang. Menguatkan hati sebelum membalik tubuh menghadapnya. Setidaknya, menunjukkan padanya bahwa aku baik-baik saja tanpa dirinya dan tak pernah sekalipun terluka.

"Hai," ucapku nyaris tak bersuara. Terlalu kelu saat mataku menangkap sosoknya yang telah berbulan-bulan ini tak bertemu. Ia masih sama, terlalu sempurna dengan semua pesonanya. Dalam sekejap, semua rindu kembali menguar satu-persatu. Menciptakan debar di dadaku, sampai menciptakan getar di tubuhku. Beginikah efek melihat lelaki itu?

"Hai?!" katanya seolah tak percaya. Lantas, tertawa sinis setelahnya.

Aku hanya mampu diam menatapnya, mengabadikan bagaimana caranya bicara, juga betapa tampannya wajahnya. Sosoknya masih saja sama, sempurna bak patung berparas Dewa. Aku bahkan hampir linglung oleh pesonanya yang gila. Ingin kusentuh, atau kukecup mesra. Sayangnya, semua hanyalah mimpi semata. Lelaki itu meski amat dekat, tak pernah sekalipun bisa terjangkau olehku. Dia akan selalu menjadi hal yang mustahil untukku.

"Omong kosong macam apa itu?!" umpatnya sinis. Menciptakan tegang pada taman kota yang lengang.

Meski dahiku mengerut bingung atas ucapannya, aku tetap menunggunya kembali bicara. Sebab, sampai kapan pun, aku tak pernah mampu mengerti isi kepalanya. Dia tetap sama, terlalu misterius seperti sebelumnya.

"Kamu!" Ia menggeram, ditatapnya aku tajam. Dia melangkah lebar mendekat padaku, membawa aura mengerikan layaknya iblis jahanam. Aku bahkan harus menahan napas saat ia berdiri menjulang di depanku. Tampak angkuh dengan kemeja hitam yang melekat di tubuhnya. Sosoknya sempurna mampu membuatku meringis. "Kamu pikir kamu siapa, hah?!"

Aku mengedip. "Apa maksudmu?" tanyaku pelan. Terlebih, terlalu bingung dengan ucapan lelaki tinggi itu.

"Kamu masih bertanya kenapa?!" Ia kembali bertanya. Seolah, mempermainkan waktu, juga daya berpikirku. Melihatku yang masih setia bungkam, bibirnya yang tebal menipis menunjukkan betapa ia menahan amarah padaku. Pun, menautkan kedua alisnya yang tebal. "Kamu membawa pergi milik saya!"

Aku terhenyak, menggelengkan kepala tak terima akan tuduhannya. Mengingat jelas aku tak membawa apa pun miliknya saat pergi darinya beberapa bulan lalu.

SYIFAWhere stories live. Discover now