Adivan 19

11.7K 417 6
                                    

     Dua minggu berlalu, Adina belum sadarkan diri dari masa komanya. Padahal ia hanya terkena tulang dada kananya. Divan yang setia tiap harinya menunggu dan menemani Adina tak pernah bosan. Ia rindu dengan senyuman gadisnya itu, ia rindu tawanya, teriaknya dan semua tentang Adina.

Ingin rasanya Divan membunuh Rayya dengan tangannya sendiri, tapi itu tidak mungkin. Ia bersumpah bahwa ia tak akan membiarkan Rayya hidup bebas. Ia meminta polisi untuk memberlakukan hukuman untuk Rayya yang setimpal atas kejadian kematian Rizki karena Rayya juga terlibat dalam kematian Rizki dan ia juga sudah mencelakakan gadisnya.

"Adina.. gue kangen elo. Plis, bangun.." ucap Divan seraya memegang telapak tangan Adina.

"Din, besok ulang tahun lo dan lo belom sadar.." lagi lagi Divan berbicara sendiri layaknya orang tidak waras.

"Kalo lo bangun, gue janji nurutin kemauan elo sebagai kado ulang tahun lo, Din.." ucap Divan tepat ditelinga Adina.

Divan mencium kening Adina sekilas. Lalu ia menggenggam erat tangan kiri gadisnya itu. Ia menyesal datang terlambat untuk menolong Adina. Ia bahkan pernah membenci dirinya karena gagal menjaga Adina. Tapi ia sadar, ini semua  takdir Allah yang sudah digariskan dalam hidup. Kita sebagai manusia hanya bisa berdoa dan berserah diri.

"I love you Adina." Bisik Divan hingga tak terasa air matanya terjun bebas tanpa aba - aba apapun.

Mencintai seseorang memanglah suatu kebahagiaan untuk kita sendiri. Sama seperti Divan, ia yakin bahwa Adina-lah cintanya dan kebahagiaannya.

"Divan." Panggil Adina pelan.

Divan terkejut saat melihat Adina sudah sadarkan diri kemudian ia memeluk Adina dengan perasaan bahagia, kini gadisnya sudah siuman. Adina tersenyum, ia sangat senang entah mengapa saat ia pertama kali membuka mata yang pertama ia lihat adalah Divan.

"Alhamdulillah lo udah siuman." Ucap Divan tersenyum senang.

Divan langsung memberi kabar kepada orangtua Adina, Sherly dan Panca bahwa Adina sudah sadar. Ini merupakan berita bahagia yang mereka tunggu.

***

17 Oktober 2016

Hari ini adalah hari dimana Adina berusia 15 tahun. Usia yang terbilang muda bagi kalangan remaja. Kini Adina menggunakan gaun yang anggun berwarna biru muda membalut tubuhnya. Ia membuat pesta ulang tahun sederhana. Memang acara ulang tahunnya tak seperti remaja lainnya, yang kebanyakan tamunya itu teman - teman kelas yang datang. Tapi diacara ini hanya Sherly, Panca dan Divan yang ikut merayakan ulang tahun Adina.

"Selamat ulang tahun, Adina. Ciye 15 tahun." Ledek Panca kepada Adina.

"Happy Birthday, Adina. I hope you have boyfriend. Ini kado dari gue ya gak seberapa sih, hehe.." Ucap Sherly lalu memeluk Adina.

"Ih lucu boneka beruangnya." Ucap Adina senang.

Adina bahagia karena para sahabatnya hingga kini masih setia dengannya. Meski tidak sebahagia tahun lalu, ulang tahun ke 14 tahun masih ada Rizki yang selalu membuat dia tersenyum. Ia rindu sekali dengan Rizki, ia belum bisa melupakan perasaannya terhadap Rizki.

"Happy Birthday Adina. Manis terus biar gue kalo minum teh gak usah pake gula. Cukup liatin lo aja." Ucap Divan lalu mereka semua tertawa.

"Modus lo Van." Ucap Panca sambil memukul pelan lengan Divan.

"Makasih kalian semua udah dateng diacara kecil - kecilan ini." Kata Adina tersenyum senang.

"Gue kangen Rizki..." lirih Adina.

Divan yang mendengar lirihan Adina membuang nafas kasar, lagi - lagi Rizki yang Adina pikirkan. Bahkan dihari ulang tahunnya,  Adina masih memikirkan Rizki. Divan semakin tidak percaya diri untuk menyatakan rasanya kepada Adina, ia takut cintanya tak terbalaskan. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah Adina.

"Di-Divan?" Teriak Adina mengejar Divan.

"Loh kok Divan pergi?" Tanya Sherly bingung.

Adina hanya menggelengkan kepala dan menghembuskan nafas lemah. Ia tau pasti mengapa Divan pergi, karena dirinya memikirkan Rizki. Divan cemburu.

"Sher, temenin gue ke makam yuk." Ajak Adina.

***

"Ki, gue dateng kesini mau ngomong sama lo tentang Adina." Ucap Divan kepada batu nisan bertuliskan nama Rizki.

"Adina masih sayang sama lo, padahal udah 2 bulan lo ninggalin kita semua. Gue kadang suka cemburu kalo dia suka mikirin elo.."

"Gue egois gak sih kalo gue cemburu sama lo setiap Adina nyebut nama lo?" Tanya Divan seperti orang bodoh.

"Gue sayang sama Adina, Ki. Padahal dia tau kalo gue sayang sama dia. Tapi--" ucapan Divan terputus.

"Divan?" Tanya Adina tak percaya.

Adina menatap Divan tak percaya. Ada apa Divan kemakam Rizki? Dan tadi mengapa Divan bilang kepada Rizki kalau dirinya menyayanginya? Adina sangat bingung dalam situasi ini.

"Hm.. lo kesini juga Din." Ucap Divan pelan.

"Lo.. lo ngapain kesini?" Tanya Adina bingung.

Divan berdiri dari posisi duduknya. Ia berhadapan dengan Adina dan memegang pundak Adina. Kemudian ia menghela nafas.

"Gue kesini cuma ngomong sesuatu sama Rizki." Jawab Divan tersenyum palsu.

Adina menautkan kedua alisnya, ia tak mengerti maksud Divan.

"Gue cerita sama Rizki kalo gue sayang elo." Ucap Divan menjelaskan.

Adina membelalakan matanya dan tiba - tiba mulutnya tak bisa berkata seperti ada yang mengkunci. Untuk apa Divan bercerita kepada Rizki tentang perasaannya?

"Kenapa lo cerita sama Rizki?" Tanya Adina yang masih dilanda kebingungan.

"Gue gaktau lagi harus cerita kesiapa lagi. Gue gak mungkin cerita sama Sherly atau Panca. Karena mereka gak ada sangkut pautnya." Jawab Divan tersenyum miris.

"Gue pulang dulu." Pamit Divan lalu pergi meninggalkan Adina dan Divan yang tengah berdiri didepan makam Rizki.

Adina mulai meneteskan air matanya. Ia merasa telah mengecewakan Divan dan mengabaikan keberadaannya. Selama ini, ia egois. Ia hanya memikirkan Rizki dan tidak memperdulikan Divan.

"Gue egois.. gue egois Sher.." ucap Adina menangis.

Sherly menggeleng kuat.

"Lo gak egois. Lo cuma terlalu asik sama pikiran lo tentang Rizki sehingga Divan lo abaikan." Ucap Sherly menenangkan Adina.

"Gue harus apa sekarang?" Tanya Adina frustasi.

"Mulai sekarang, lo harus buka mata dan hati lo untuk Divan. Jangan abaikan dia." Jawab Sherly.

"Sekarang kita pulang, udah mau hujan." Ajak Sherly.

Adina berpikir tentang ucapan Sherly. Menurutnya ada benarnya, ia harus membuka mata dan hatinya untuk Divan. Lagipula, Rizki tidak mungkin bisa kembali hidup jadi ia tak boleh terus memikirkan Rizki.

"Maafin gue Van.." kata Adina lirih.

Adina Dan DivanWhere stories live. Discover now