Adivan 15

12.9K 486 15
                                    

    Sudah lima hari Adina belum membuka matanya dari masa kritisnya. Dan ia juga belum menemukan pendonor darah yang cocok untuknya.

Lain hal dengan Rizki, ia sudah sadarkan diri sejak dua hari yang lalu. Ia ingin sekali mendonorkan darahnya untuk wanitanya itu, namun dokter melarangnya karena ia pun sedang sakit.

Kini Rizki duduk dikursi rodanya disamping brankar Adina. Ia menatap lurus wajah Adina. Ia merasa seperti menjauh dari wanita itu, entah hanya perasaan atau akan menjadi kenyataan. Yang pasti Rizki tak akan ingin pergi meninggalkan Adina.

"Din.. sadar dong. Gue kangen." Ucap Rizki lembut tepat ditelinga kiri Adina.

"Din.. waktu gue sakit, elo selalu setia nemenin gue dan bangunin gue dan akhirnya gue bangun. Sekarang gantian lo harus bangun Din." Lirih Rizki.

Adina tidak bereaksi sama sekali. Kondisi tubuhnya sangat lemah kemungkinan kecil Adina siuman itu kecil, kecuali sudah didonorkannya darah untuknya.

Rizki menatap lurus kedepan tepatnya luar rumah sakit dari dalam ruangan Adina. Ia mengingat semua memori kenangan bersama Adina. Kini gadis itu sedang menunggu penyelamat hidupnya, ia sedang dalam keadaan lemah.

"Adina.. gue mohon, buka mata lo tatap gue. Gue kangen." Ucap Rizki pelan dan akhirnya ia mulai mengeluarkan air matanya.

Laki laki wajar kan jika menangis karena orang yang ia cintai?

Rizki menggenggam hangat tangan Adina seolah menyalurkan kekuatan untuk bertahan.

Rizki tau bahwa musuhnya itu akan mencelakakan dirinya lagi karena itu ia ingin sekali melihat Adina membuka matanya, sedikit berbincang dengannya dan memberi sedikit kenangan untuk terakhir kalinya jika Ronald akan membunuhnya sekarang.

"Rizki?" Panggil seseorang dibalik pintu.

"Ya?" Jawab Rizki.

"Adina sudah mendapatkan pendonornya." Ucap Sherly dengan semangat.

Rizki membalikan tubuhnya dan menatap Sherly tak percaya. Sedangkan yang ditatap hanya cuek dan menghampiri ke brankar Adina.

"Din, akhirnya lo dapet pendonor darah." Ucap Sherly kepada Adina. Lalu seketika raut wajahnya berubah sedih. Sedih karena wajah Adina semakin memucat.

"Kapan pendonor itu mendonorkan darahnya?" Tanya Rizki kepada Sherly.

"Hari ini jam 12 siang." jawab Sherly.

Rizki mengangguk kemudian ia pergi keruangannya. Ia merasa perut yang luka itu nyeri.

Tling

You have a message

085765xxxxxx

'Datang kegudang belakang rumah sakit sekarang kalo lo mau Adina dapet donor darah.'

Brakk

Rizki menggebrak meja yang ada didepannya. Ia geram jika Adina ada yang berani mengancamnya bahkan menyakitinya. Padahal perutnya terasa nyeri tapi ia tak pedulikan itu, ia lebih takut jika Adina dalam keadaan bahaya.

"Sialan!" umpat Rizki.

Rizki langsung pergi ke gudang belakang rumah sakit dengan emosinya yang membuncah. Ia tak pikir panjang apa resikonya.

"Keluar lo!" teriak Rizki geram.

Prok prok prok

"Berani juga lo dateng kesini." ucap laki - laki itu dengan tatapan sinis.

"Untuk apa gue takut sama lo? Gue ingetin sekali lagi, lo gak usah bawa - bawa Adina dalam masalah ini!" ucap Rizki dengan penuh amarah.

Laki - laki itu atau Ronald hanya tertawa sinis dan menatap Rizki dengan tatapan tajam seperti seorang psikopat. Sedangkan yang ditatap tak kalah seram tatapannya.

Adina Dan DivanOnde histórias criam vida. Descubra agora