Adivan 10

16.1K 596 11
                                    

   Hari ini hari kedua Divan menjaga Mamanya dirumah sakit. Selama dua hari itulah ia tidak masuk sekolah. Bukan Mama atau Papanya yang meminta Divan untuk tidak masuk sekolah untuk menjaga Mamanya itu, tetapu kemauannya sendiri.
Ia berpegang teguh pendiriannya, jika itu keinginannya tidak ada yang bisa melawannya.

Entah mengapa, baru dua hari Divan tidak masuk sekolah, ia sangat kesepian meskipun ia sering mengobrol dengan Sherly. Ia rindu berdebat dengan Divan. Rindu? Ya, hatinya mengatakan bahwa rindu apa yang ada di diri Divan.

Adina berniat hari ini menjenguk Mama Divan. Menurut informasi dari Divan, mamanya itu akan dioperasi hari Minggu dan itu artinya lusa akan dilaksanakan operasi itu.

"Sherly, entar lo mau temenin gue ke rumah sakit gak? Jenguk Mamanya Divan." tanya Adina.

"Boleh, yaudah entar pulang sekolah langsung kesana aja, Din." jawab Sherly lalu Adina mengangguk.

Hati Adina senang saat ingin menjenguk Mamanya Divan itu. Sejak pelukan dua hari yang lalu itu, ia mulai ceria kembali dan sepertinya lupa dengan Rizki.

***

Tok tok

Ceklek

Pintu kamar ruangan Mamanya Divan terbuka dan berdecit sedikit keras. Namun laki - laki yang setia menemani sang ibunda tak menyadari ada orang yang memasuki kamar itu.
Ia tidur disofa terlihat letih, tubuhnya berubah drastis menjadi kurus. Padahal sebelumnya ia tidak terlalu kurus.

"Assalamu'alaikum." ucap Adina dan Sherly bersamaan.

Tak ada yang menjawab. Mamanya Divan, Olan, sedang tidur di brankar rumah sakit itu dengan selang infus dan dibantu alat pernafasan. Adina menghela nafas, entah mengapa hatinya mencelos melihat Olan seperti itu. Mungkin ia menganggapnya seperti orang tua kedua.

Sedangkan Divan masih tetap tidur di sofa.

Adina duduk disebelah Divan terpaksa membangunkan Divan, karena ia tidak enak hati, bertamu tetapi tuan rumahnya tidur.

Tetapi yang dibangunkan malah kepalanya jatuh kepundak Adina. Adina membelalakan matanya karena kaget, jantungnya berlari maraton tiba tiba. Sherly yang melihat Adina seperti itu hanya terkekeh pelan.

Dengan perasaan yang dag dig dug, Adina terpaksa membangunkan Divan. Ia menepuk pelan pipi Divan.

Halus

Pipi Divan halus. Adina ketagihan untuk menyentuhnya lagi. Saat Adina ingin menepuk pipi Divan lagi, ternyata Divan sudah membuka matanya lalu Adina langsung menarik tangannya dan tersenyum kikuk.

"Aduh, jangan sampe Divan sadar kalo gue deg degan." gerutu Adina dalam hati.

"Elo? Elo ngapain?" tanya Divan dengan suaranya yang khas orang bangun tidur.

"Emm.. Gu--gue mau---" ucap Adina sangat gugup.

"Kita kesini mau jenguk nyokap lo, boleh kan?" potong Sherly cepat.

Divan ber 'oh' ria dan mengangguk, lalu menoleh ke arah Adina yang sedang salah tingkah. Entah mengapa karena kejadian tadi Adina menjadi salah tingkah, dan ia tersenyum malu. Divan hanya menautkan kedua alisnya.

"Eh? Oh iya, nyokap lo gimana kabarnya?" tanya Adina berusaha mencairkan suasana.

"As you see." jawab Divan tersenyum kecut.

Kemudian Adina menoleh kearah Olan. Ia juga merasakan apa yang dirasakan Divan. Sedih. Ia seperti menganggap Olan seperti Ibunya.

"Mudah - mudahan, operasi mama lo berjalan dengan lancar." doa Adina seraya tersenyum tipis.

"Aamiin." ucap mereka bertiga bersamaan.

Bruk

Ada suara gaduh dari depan kamar Retno seperti orang yang mengejar orang. Tunggu, apa tadi?

Adina yang merasa penasaran pun segera keluar dan melihat apa yang terjadi.

Adina melihat seseorang seperti yang ia kenal, bahkan sangat mengenalnya. Seseorang yang mengenalkan arti 'cinta'. Seseorang yang mengajarkan apa arti 'putus cinta'.

Adina mengejar suster suster yang membawa brankar Rizki sambil menangis. Lagi lagi menangis karena Rizki.

Meskipun Adina telah disakiti oleh Rizki, namun rasa sayang akan menang dari sakit hati. Ia takut terjadi sesuatu dengan Rizki.

"Sus.. Sus.. Dia kenapa sus.. Suss.." ucap Adina panik saat Rizki dibawa keruang UGD.

Adina menangis tersedu - sedu. Tadi ia melihat Rizki mengeluarkan banyak darah, terutama dibagian kepala, tangan, dan kaki bagian kanan.

"Rizki.." teriak Adina dari luar ruang UGD dan menangis lebih kencang.

Ia tak sanggup melihat Rizki seperti itu. Ia benar benar khawatir. Adina masih menyayangi Rizki.

"Adina! Lo kenapa?" tanya Sherly panik yang entah sejak kapan sudah berada di depan UGD.

Sherly menyusul Adina tidak sendiri, melainkan bersama Divan. Entah mengapa tadi hati Divan tidak enak jadi mereka menyusul Adina.

"Adina, lo kenapa nangis? Siapa yang di UGD, Din?" tanya Sherly panik.

Adina belum bisa menjawab, ia masih menangis, ia sangat sakit melihat orang yang ia cintai seperti itu. Lebih baik disakiti daripada harus melihat Rizki sakit separah itu, menurut Adina.

Divan yang diam - diam khawatir dengan Adina, menghampiri Adina dan spontan Adina memeluk Divan. Divan kaget tetapi ia membalas pelukan Adina. Mungkin jarang sekali momen seperti ini, Adina memeluk Divan.

"Lo kenapa, Din?" kali ini Divam angkat bicara.

"Hiks.. Hiks.. Rizki, Van. Rizki didalam." jawab Adina sesenggukan.

Tiba tiba hati Divan seperti ditusuk ribuan godam. Hatinya sesak.

"Ternyata Rizki udah sakitin elo, masih juga elo sampe nangis kaya gini." gumam Divan pelan.

Adina tidak mendengar. Ia masih sibuk dengan pikirannya yang berkecamuk tentang Rizki. Rizki, Rizki, dan Rizki.

Divan tanpa sengaja melepaskan pelukan Adina karena ia sangat sakit hatinya. Wanita yang ia cintai, khawatir, perduli, nangis sejadi jadinya, dan yang terakhir, sayang dengan orang lain. Itu sakit. Bahkan amat perih. Bukan berlebihan, namun faktanya seperti itu.

Lalu Sherly mencoba menenangkan Adina dan membawa Adina ketempat duduk. Ia memeluk sahabatnya itu dan mengelus punggung Adina, seolah menyalurkan kekuatan.

"Rizki pasti kuat. Jangan nangis, kalo lo drop pas Rizki sadar kan nanti gimana?" ucap Sherly menyemangati.

Adina hanya tersenyum tipis, benar kata Sherly. Ia tidak boleh sampai drop, ia harus tegar.

Orang yang memakai jas putih atau dokter yang menangani Rizki pun keluar.

"Maaf, keluarga Rizki ada?" tanya dokter itu.

Adina menggeleng.

"Kami semua sahabat mereka, dok. Bagaimana keadaan dia?" tanya Adina khawatir.

"Pasien mengalami geger otak, patah kaki bagian kanan dan tulang tangan bagian kanan nya tergeser." jawab dokter.

Adina Dan DivanWhere stories live. Discover now