Adivan 9

15.5K 678 12
                                    

   Adina kembali termenung dibalkon rumahnya mengingat kejadian kemarin, ternyata Rizki tega dengan dirinya. Setelah ia membuat Adina terbang lalu ia melepasnya hingga jatuh ketanah, sakit. Bagaimana jika kalian merasakan yang dirasakan Adina? Tentu sakit bukan?

"Din.. Lo kok diem aja sih dari tadi." ucap Sherly memecah keheninga.

Adina tak mendengar Sherly bicara. Pikirannya masih melayang melayang tentang Rizki.
Untuk apa Rizki mendekatinya? Untuk apa Rizki perhatian dan perduli dengannya? Untuk apa Rizki mengatakan ia sayang padanya? Jika pada akhirnya semua perlakuan dan pembicaraannya hanya omong kosong dan membuat Adina senang sebentar dan perih berkepanjangan, untuk apa?

Apa Rizki tak pernah berfikir bagaimana Adina sekarang?

Semenjak kejadian itu, dua hari lalu, ia tak pernah munculkan diri dihadapan Adina. Jangankan memunculkan diri untuk meminta maaf secara langsung, lewat pesan atau line pun, Rizki tak lakukan.

Apa ia pura - pura melupakan semuanya? Apa Rizki sejahat itu?

Tes

Lagi, lagi dan lagi air mata Adina terjun bebas. Bukan Adina yang meminta, tapi keadaan yang meminta air mata sia - sia itu.

Bukankah jika wanita menangis dikarenakan pria, pria itu akan dikutuk setiap langkahnya oleh malaikat?

Lalu jika begitu, Adina mengapa menangis terus padahal ia mencintai Rizki?

"Din.. Please. Lo gak boleh terus nangis cuma gara - gara Rizki! Rizki itu cuma cowok brengsek. Jadi lo gak usah--"

"Cukup! Jangan sebut - sebut lagi nama dia!" ucap Adina keras. Matanya merah. Terlihat seperti orang marah.

Sherly kaget. Ia baru pertama kali melihat Adina marah. Adina sangat tau sahabatnnya itu tidak bisa dimarahi apalagi dibentak. Sherly tidak suka kekerasan. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri, ia tak mungkin marah balik dengan Adina, situasi tidak memungkinkan.

"Maaf.." ucap Adina lembut. Ia menunduk, merasa bersalah karena ia tadi marah dengan Sherly. Ia tak sengaja, egonya yang mengendalikan tubuhnya.

Sherly menggeleng kuat. Ia masih tak menyangka dengan sahabatnya itu. Padahal semarah apapun Sherly dengan orang lain atau bahkan dengan dirinya, ia tak pernah marah seperti itu, ia memilih diam.

Adina yang sadar perubahan Sherly, langsung memeluknya. Ia menenangkan diri Sherly. Perlu kalian ketahui mengapa Sherly tidak suka kekerasan, Sherly memiliki lemah jantung.

Tling

You have a message.

Suara handphone Sherly berbunyi menandakan ada pesan masuk. Ia segera mengecek pesan tersebut.

"Rival?" gumam Sherly.

"Sher, maaf. Mohon maaf sebesar - besarnya. Berhubung gue mau lanjut studi kuliah, gue mau kuliah di Bandung. Dan...

Otomatis gue harus pindah ke Bandung, orang tua gue yang nyuruh gue. Kita gak mungkin ldr, gue gamau lo gak kuat dengan ldr. Karena itu gue mau kita udahan dulu.

Tapi gue janji, setelah gue lulua kuliah kan gue nerusin kerjaan ayah gue di kantor dan gue akan lamar lo, janji.

Jangan sedih. Kita masih bisa berteman dengan baik. Kita masih bisa berkomunikasi.

I love you, Sherly Hana Wijaya❤

Rival selalu sayang dirimu💙. "

Deg

"Sherly.. Sher, lo kenap---, Sherly!" pekik Adina heboh.

Sherly jatuh dan tak sadarkan diri setelah membaca pesan dari Rival. Mungkin ia kaget karena pesan itu, ia amat mencintai Rival. Mereka berdua pernah berjanji, tidak ada yang saling meninggalkan namun nyatanya Rival harus melanjutkan studinya, demi masa depannya.

Adina membopong Sherly ke tempat tidurnya. Ia panik dan khawatir takut Sherly sakitnya kambuh. Dia juga merasa bersalah karena tadi telah memarahi Sherly.
Adina segera menelpon Panca.

"Sherly, ayo dong bangun. Gue panik tau." ucap Adina menangis.

"Hiks hiks."

"Sherly, maafin gue. Tadi gue ga maksud marah sama lo."

"Sher, bangun. Gue takut elo kenapa napa."

Ceklek
Pintu kamar tidur Adina terbuka, bertanda ada orang masuk. Siapa lagi kalau bukan Panca?

"Pancaa.. Kita bawa Sherly ke rumah sakit yaaa!" perintah Adina dan Panca mengangguk. Lalu Sherly digendong Panca menuju mobilnya.

Kini Adina dan Panca telah ada dimobil untuk membawa Sherly kerumah sakit. Mobil Panca melesat pergi meninggalkan komplek rumah Adina dan Sherly. Tak butuh waktu lama, 25 menit mereka tiba dirumah sakit.

Rumah Sakit Harapan Indah

Panca langsung menggendong Sherly kedalam rumah sakit dengan perasaan khawatir. Seperti khawatir, orang yang ia cintai terjadi sesuatu.
Cintai? Entahlah.

Sherly sudah ditangani oleh dokter, Adina dan Panca menunggu didepan ruangan dimana Sherly diperiksa dokter.
Adina masih menangis, takut penyakit sial itu datang lagi menghantui hidup Sherly. Ia tak mau kehilangan Sherly untuk kedua kalinya.

Dulu Sherly pernah koma bahkan mati suri, mungkin Tuhan mengabulkan doa doa mereka agar Sherly dapat kembali bersama mereka.

"Divan?" ucap Adina tak percaya. Ia mengerjapkan matanya.

"Ngapain Divan disini?" tanya Adina pada Panca. Panca menggeleng.

Adina yang penasaran, akhirnya ia menghampiri Divan yang berada di resepsionis.

"Divan? Lo ngapain disini?" tanya Adina.

Divan menoleh ke Adina. Ia awalnya terkejut namun ia kembali seperti semula wajahnya yang datar.
Adina semakin tidak mengerti, mengapa Divan tak menjawab pertanyaannya.

"Van?" panggil Adina.

"Hm, nyokap sakit." jawab Divan sekenanya.

Adina membelalakan matanya. Ia kaget, entah mengapa ia ikut bersedih mendengar Ibunya Divan sakit.

"Sakit apa?" tanya Adina khawatir.

Divan hanya mengedikan bahunya.

Ceklek

Suara pintu ruangan Sherly diperiksa terbuka. Adina spontan menarik Divan dan membawanya keruangan Sherly.

"Gimana dok keadaan teman saya?" tanya Adina khawatir.

"Kondisi teman kalian tidak parah. Ia hanya shock, mungkin sebentar lagi ia siuman. Mau jenguk?" begitulah penjelasan dokter.

Adina dan Panca menghembuskan nafas pelan dan bersyukur. Lalu mereka bertiga masuk keruangan Sherly.

"Sherly udah sadar?" tanya Adina senang. Lalu ia memeluk Sherly.

"Loh, Divan ada juga disini." ucap Sherly bingung.

"Iya tadi gue gak sengaja liat Divan di resepsionis, terus gue samperin aja. Katanya ibunya sakit." ucap Adina menjelaskan.

Sherly dan Panca mengangguk.

"Oiya Ibu lo sakit apa?" tanya Adina penasaran.

Divan tersenyum miris, "kanker otak.". Lalu tanpa sengaja Divan memeluk Adina, mungkin ia butuh penyemangat.

Adina yang kaget hanya diam tak percaya, tapi ia sebagai teman yang baik, ia membalas pelukan Divan dan berusaha menenangkan Divan.

Nyaman

Satu kata bagi mereka berdua saat berpelukan.

Adina Dan DivanOù les histoires vivent. Découvrez maintenant