Love On Top

5.3K 307 24
                                    

Emma menarik kopernya dengan tangan kiri. Jari-jemari tangan kanan nya melingkar indah di jari-jemari tangan kiri ibunya. Padahal, baru beberapa kali Emma datang ke bandara ini tetapi ia seperti sudah hafal dengan tiap inci bagiannya. Tiang penyangga biru di tengah-tengah nya seakan-akan menjadi titik tumpu atap bandara. Oh, Barajas-Madrid.

"Jadi, bagaimana ia bisa memberikannya pada Alona?" tanya Emma pada Lucy sewaktu masih di ruang tamu. Ia memainkan gagang kopernya.
Julia dan Rudi sedang mempersiapkan semua barang-barang yang Emma bawa sejak dulu dan dimasukkannya ke bagasi mobil milik Andres.

"Penyakit Matilda tidak mudah disembuhkan. Kami pun awalnya juga sudah merencanakan hal seperti itu tetapi kami juga berfikir betapa kejamnya kami jika mengorbankan Matilda. Lalu kau datang dan dengan beraninya memberikan ginjalmu dengan seenaknya. Jadi kami tidak punya pilihan lain. Haha" balas Fabrizal tertawa di akhir kalimatnya.
Emma masih ingat betul suara pria itu walaupun sudah setengah jam mereka terpisah. Dan ingat betapa Lucy masih tertekan, untung saja Fabrizal mengerti dan mendekap Lucy erat.

"Here it is..." ucap Andres berbalik menatap Emma. Sekarang, saat Andres memandang Emma, ia tak perlu menundukkan wajahnya seperti dulu. Wanita itu sudah bertambah tinggi saja.

Emma menghentikan langkah nya dan memberi kode pada ayah dan ibunya agar diberikan suatu privasi antara dirinya dan Andres.
Emma mengangguk pelan setelah orang-tuanya itu lebih memilih duduk di kursi tunggu.

"Kau ingin kembali lagi ke Spanyol?" tanya Andres kaku.

"Entahlah. Mungkin suatu hari" jawab Emma singkat. Ia pun tidak terlalu yakin dengan jawabannya.

"Kau pacarnya Marc. Kau harusnya selalu bersamanya bukan?" Andres mentautkan kedua alis nya.

"Aku melewatkan makan malam bersama Marc kemarin. Mungkin sekarang dia marah padaku dan... Yah kau tau sendiri kan? Tak akan berhasil. Mungkin jodohku bukan Marc kali ya hahah" tawa Emma terdengar sangat renyah dan krispi. Tertawa paksaan.

Andres menatap prihatin. Andai saja ia ataupun Irina tidak masuk ke kehidupan Emma, pasti gadis ini tidak merasakan hal seperti ini. Apakah Emma juga pernah berfikir demikian?

"Emm, apa kau pernah berfikir kau menyesal telah mengenalku?" Andres menundukkan wajahnya.

"Tidak. Kenapa kau bertanya seperti itu? Ini juga merupakan skenario tuhan kok. Kalau aku tidak mengenalmu, aku tidak akan mengenal Marc. Benar kan?--" Emma tersenyum manis menyipitkan matanya, "--Kemarilah" Emma membuka tangannya lebar-lebar membuka celah untuk Andres memeluknya.
Andres rasa, ini adalah pelukan terakhirnya antara dirinya dan Emma. Karena cepat atau lambat, Emma pasti akan bersatu dengan Marc.

"Kau pria yang baik Andres. Bahagiakanlah Lucy dan Alona juga ayahmu. Keluarga adalah yang terpenting." bisik Emma lalu melepaskan pelukannya. Belum sempat Andres menjawab, Emma kembali menarik kopernya dan pergi begitu saja.
Emma tidak ingin ini semua terlihat dan terkesan seperti terakhir kalinya mereka bertemu.

Emma melihat keluar jendela pesawat. Begitu tebalnya awan-awan putih itu saling bergerumul. Ia dikagetkan dengan orang yang duduk disebelahnya. Julia tersenyum menatap Emma seakan-akan meminta maaf karena telah mengagetkannya. Emma melepas headsetnya yang terpasang di kedua telinga.

"Bagaimana kalian tau rumah Lucy?" tanya Emma menyenderkan kepalanya ke pundak Julia.

"Kami bertemu seorang wanita yang bernama Irina di bandara. Dia mengenali kami sebagai orang-tua mu, seakan-akan ia mengerti kemana kami akan pergi. Jadi dia rela terlambat dengan pesawatnya untuk mengantarkan kami ke rumah itu" jelas Julia mengelus rambut Emma.

"Dimana Irina waktu itu? Kenapa dia tidak ikut masuk?" jawab Emma terlanjur penasaran.

"Ia kembali ke Moskow, Rusia. Ia merindukan keluarga dan teman-temannya disana" Emma membatin betapa baiknya Irina kala itu.

New Romantics (Marc Marquez Fanfict)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang