Greatest Love Of All

4.2K 269 0
                                    

Emma berlari mensejajari tandu stretcher rumah sakit menuju ruang UGD. Emma tak memedulikan Andres, ia tahu pria itu ada di belakangnya.
Emma terus saja memegangi tangan kecil itu. Tangan kecil lusuh yang kotor. Ia tak tahan akan wajah gadis kecil yang sedang memejamkan mata itu.

Matilda terbaring lemah diatas tandu strecther yang didorong beberapa suster berparas tak kalah cantiknya dengan Emma kala itu.
Emma terkejut dengan tumbang nya seorang gadis kecil yang bernama Matilda di bibir danau taman. Satu yang terbersit yaitu ia harus sesegera mungkin membawa Matilda ke rumah sakit.

Suster membelokkan tandu strecther ke dalam ruang UGD. Namun, langkah Emma terhentikan oleh seorang suster yang memblokade jalannya.

"I have to see her" ucap Emma dengan nada khawatir.

"I'm sorry. But you have to wait" balas suster itu dengan lembut.

Emma pelan-pelan melangkahkan kakinya ke belakang tanpa ia sadar ia menabrak tubuh Andres. Emma menoleh dan menatap Andres dengan ekspresi kekhawatiran. Walaupun ia baru mengenalnya, tetapi Emma telah menaruh perhatian pada gadis kecil itu.

"Bagaimana ini?" tanya Emma memegangi kepalanya yang tiba-tiba saja terasa pusing.

"Duduklah--" Andres menggiring Emma untuk ikut duduk disampingnya dikursi tunggu, "--dia pasti akan baik-baik saja."

Emma mengambil handphone dari kantong celana jeans birunya. Ia mencari kontak Marc. Namun, saat tombol hijau berlogo gagang telefon itu muncul di layar, Emma ragu untuk memencetnya. Ia pasti mengira Marc sedang sibuk diluar sana.
Ah sial! Emma merasa tertekan. Dalam lubuk hati Emma, ia ingin Marc menjadi orang pertama yang mengetahui akan hal ini. Namun Emma sadar, Marc tengah menjalani kesibukannya di Qatar.

Andres diam-diam melirik Emma yang tengah memandangi layar handphone nya itu. Dari tatapan kosong Emma, Andres tahu bahwa Emma sedang bertarung dengan pikiran dan hatinya.
Kasihan Emma. Kemana Marc saat Emma membutuhkannya?

Sudahlah, tidak ada gunanya. Emma kembali memasukkan handphone nya ke dalan saku. Dan lebih memilih untuk menenangkan diri sendiri. Kali ini Emma tak ingin memaksakan diri.

Lama mereka menunggu, akhirnya seorang dokter berparas cantik keluar dari 'ruangan rahasia' itu. Andres bersyukur karena tadi ia benar-benar kehilangan topik pembicaraan untuk menenangkan Emma.
Andres kagum padanya, sangat peduli dengan orang yang baru ia kenal.

Emma beranjak dari duduknya dan menemui sang dokter yang diketahui bernama Maria dari nametag di jas putih kebesarannya.
Dalam hati, ia berharap semoga tidak terjadi apa-apa pada Matilda.

"Bagaimana keadaan gadis itu?" tanya Emma tak sabaran.

"Dia sekarang baik-baik saja. Tetapi ada masalah serius pada kesehatannya" balas sang dokter fasih namun dengan logat spanyolnya yang kental, sama seperti cara berbicara Marc.

"Ada apa dengannya?" celetuk Andres yang merasa tidak beres dengan ucapan sang dokter.

"Dia mempunyai penyakit Leukimia. Dan sudah stadium 2" Maria menghembuskan nafas beratnya.

Emma terkejut dan menutupi mulutnya dengan kedua telapak tangan nya. Walaupun Emma tak begitu mengerti dengan hal ke-medisan, tetapi Leukimia sangatlah berbahaya. Penyakit yang dapat merenggut nyawa siapa saja.
Andres antara rasa percaya dan tidak.

"Bolehkah kami menemui gadis itu?" ijin Andres.

"Apakah kalian kedua orang tua nya?"

"Bukan." balas Emma dan Andres hampir berbarengan.

Emma mengamati lekuk wajah lusuh itu. Pakaiannya tidak sebening tadi siang. Entah sudah berapa lama Matilda memejamkan matanya dan terlelap tidur. Suara mesin terus membunyikan suara khasnya. Memperlihatkan garis-garis konstan di layar monitor.
Banyak jarum yang tertusuk di lengan Matilda.

"Emma, sudah malam. Kau tidak ingin pulang?" Andres memegang bahu Emma.

Emma yang sedari tadi menahan kantuk harus membuka matanya dan membalikkan badan menatap Andres yang sedang berdiri dibelakangnya.
Emma berdiri dari duduknya di kursi samping.

"Aku rasa aku tidak bisa pulang. Aku harus menunggunya" balas Emma dengan suara serak.

"Pikirkanlah kesehatanmu juga Emm. Beberapa hari lagi adalah hari penayangan perdana film-mu kan? Kau tidak boleh sakit" jelas Andres lembut.

"Aku harus tetap menungguinya. Kasihan dia Andres, dia sendirian. Bahkan kita tidak tau apa yang terjadi pada kedua orang tua nya yang tidak kunjung datang kesini. Suster tidak memberitahumu apa-apa kan?" balas Emma memandang Matilda.

"Kau yakin? Aku tidak ingin kau sakit Emm."

"Aku mohon Andres, malam ini saja. Besok aku pasti akan pulang."

"Aku akan menemanimu." tantang Andres. Ini trik akhir, batinnya. Jika Emma tak kunjung berubah pikiran untuk pulang kerumah.

"Jangan mengancamku dengan tantanganmu Andres." tebak Emma tepat.

Hmm, senjata makan tuan nih. Andres tidak bisa mengelak, ia termakan ucapannya sendiri. Ia harus menemani Emma disini. Apapun yang terjadi.

"Aku akan mencarikanmu makan. Dari sore kau belum makan. Sebentar" pamit Andres dan bergegas pergi.

"Andres!" seru Emma sebelum Andres berhasil melangkahkan kakinya keluar dari ruangan.

"Yes?" Andres berbalik dan menatap Emma.

"Terimakasih banyak" ucap Emma singkat dan ia paksakan untuk tersenyum semanis mungkin.

"Sama-sama" balas Andres lengkap dengan senyumannya dan kembali melangkahkan kakinya.

***

Emilio menatap Marc yang terus berjalan mondar-mandir di kamar hotelnya. Disatu sisi, ia merasa kasihan karena Emilio tau bahwa Marc sedang mencoba menghubungi Emma namun tak kunjung Emma angkat. Dilain sisi lagi, ia merasa terganggu dengan datangnya Marc ke kamar hotelnya. Padahal Marc sudah menyewa kamar hotelnya sendiri. Emilio sebagai pengantin baru juga ingin menikmati kebersamaan bersama istrinya.

"Ayolah Emm. Angkat" ucap Marc.

"Hey, ini Emma Watson. Jika kau ingin berbicara denganku, aku sedang sibuk. Kau bisa mengutarakannya disini" bunyi suara mailbox Emma.

"Hey Emm. Jika kau mendengar ini segera telfon aku" ucap Marc singkat dan menutup telfonnya.

"Sudah berbicara dengannya?" celetuk Emilio yang menatap Marc dari atas tempat tidur.

"Nomornya tidak aktif." balas Marc.

"Ayo. Kita ada pertemuan dengan bos besar" ajak Emilio pada Marc untuk keluar dari kamar hotelnya.
Marc heran, mendadak sekali bertemu dengan bos besar Honda.

"Kau akan mendapat umbrella girl-mu yang baru" ucap Emilio mewakili bos besar yang tidak dapat hadir kala itu.
Emilio berdiri di antara orang-orang dan teman pit crew-nya. Didepan atau lebih tepatnya di belakang badan Emilio yang sedang berdiri, terpampang presentasi rencana team Honda menghadapi balap motoGP musim ini.

Emilio masih sibuk membuka lembar demi lembar kertas penting yang bos besar percayakan padanya. Karena Emilio sudah sangat dipercaya disana.

"Apa? Bagaimana dengan yang dulu? Kita bahkan sudah lumayan akrab" sanggah Marc yang mendapat tatapan heran dari beberapa orang disini.

"Dengar Marc. Umbrella girl-mu yang baru lebih baik dari yang dulu. Ia supermodel terkenal. Kau harus bisa menerimanya. Lagipula hal itu tidak akan mengganggu kinerja dan performa mu tampil di sirkuit bukan?" jelas Emilio. Marc membencinya, terkadang ucapan manajernya itu mematikan.

Marc lebih memilih diam. Lagipula tak ada gunanya jika ia terus mendebatkan tentang hal umbrella girl yang baru. Toh hanya bisa menemaninya sebelum beraksi di lintasan saja.

Baru saja Marc melangkahkan kaki keluar ruangan rapat dan masuk ke mobil. Emilio mengiriminya pesan singkat. Rangkaian kata yang membuat Marc naik darah.

From : Emilio Alzamora

Kau harus menjemput malaikat balapanmu di cafe seberang.

Marc menggertakkan giginya. Dasar!
Satu nama yang melintas di pikiran Marc. Dimana Alex?

New Romantics (Marc Marquez Fanfict)Where stories live. Discover now