12 Days of Loving You

Mulai dari awal
                                    

Belum sampai ia di bandara, macet nya kota Jakarta telah menanti di depan. Farah berulang kali membunyikan klakson, namun itu tetap saja tiada guna.
Emma tidak mau menunggu terlalu lama. Emma nekat keluar dan berlari untuk mencari tukang ojek.

"Pak pak anterin saya ke bandara internasional Soekarno-Hatta!" seru Emma menepuk salah satu tukang ojek.

"Waduh mahal neng. Jauh juga. Kuat gak bayarnya?" Emma heran, masih saja tukang ojek itu perhitungan akan biaya.

"Ah itu mah gampang. Ayo cepetan 10 menit harus sampai!" Emma langsung naik ke atas jok motor. Bapak tukang ojek pun langsung tancap gas.

Bapak tukang ojek pun mengeluarkan keahliannya di dalam kemacetan parah Jakarta ini. Berulang kali Emma sempat ingin terjatuh. Ini adalah pengalaman tergila Emma. Naik ojek di tengah keramaian dengan kecepatan 100km/jam. Bahkan mereka hampir menabrak dua pasang angsa yang sedang ajeb-ajeb di tengah jalan. Benar-benar gila.
Dan kurang dari 10 menit, Emma sudah sampai di bandara. Tanpa babibu Emma langsung berlari tancap gas pol. Tapi langkahnya dihentikan tatkala bapak tukang ojek itu menagih biaya.

"Eh Neng! Bayar dulu. Main kabur aja" sewot bapak tukang ojek.

"Berapaan pak?" basa-basi Emma karena ia tahu, uang yang ada di dompetnya hanya cukup untuk naik pesawat saja.

"200 rebu" balas bapak tukang ojek dengan mata berkilauan karena sedang menanti rejeki nomplok.

"Gini aja, bapak kenal Marc Marquez gak? Bapak nge fans gak?" akal-akalan Emma.

"Kenal neng. Pembalap GP terkenal itu kan? Wah saya fans berat nya Marquez selain Rossi" tebak bapak tukang ojek sembari menerawang.

"Bapak mau gak tanda tangan atau baju atau apapun itu dari Marc Marquez?"

"Wah mau pastinya Neng..." ucap tukang ojek yang terlanjur mupeng.

"Saya bisa ngasih loh Pak. Asalkan bapak meng-gratiskan biaya ojek saya..." Emma memainkan alisnya naik turun.

"Wah, Neng mau bohongin saya ya?"

"Kalau saya mau bohong, saya pasti sudah kabur daritadi kok Pak. Saya ini pacarnya Marc Marquez loh. Semoga" ucap Emma berbisik di akhir kata.

"Hah? Masa sih?" tukang ojek itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Emma sudah tidak tahan dengan permainan ini. Ia harus segera mengakhirinya dan bisa segera take off.

"Uang saya uang spanyol semua Pak. Gak ada rupiah. Noh tuh lihat. Bapak gak tau kan ini nilainya berapaan?" Emma memamerkan uang yang telah ia tukar dulu. Bapak tukang ojek itu mengangguk.

"Tapi saya butuh duit neng. Buat makan anak istri saya" ucap bapak itu memelas.
Emma kini merasa kasihan dengan bapak tukang ojek itu.

"Yasudah, bapak datang ke alamat rumah ini. Bapak bilang saja Emma belum bayar ojek 200 ribu" Emma menyerahkan selembar kertas kecil yang berisi alamat rumah. Tepatnya alamat rumah Farah. What?
Lalu bapak tukang ojek itu mengangguk tersenyum dan berlalu pergi.

(Flashback end)

Emma masih saja menggeret koper nya yang beratnya seperti menggeret almari saja.
Kaki Emma terlalu lelah. Sebentar lagi dia sampai di rumah kediaman Alonso.

Beberapa kali Emma mengetuk dan memencet bel yang menempel tepat disamping pintu. Hingga pada ketukan yang kesekian barulah sang empu rumah menunjukkan jati diri nya. Namun seseorang yang muncul tidak seperti yang Emma harapkan.

"Emma? Kau kenapa ada disini?" tanya Alona mendongakkan kepala karena tinggi Emma tidak wajar untuk ukuran orang Indonesia.

"Hay Alona. Aku datang kembali" balas Emma tersenyum semanis mungkin.

Lalu suara derap langkah kaki mendekat. Suara itu lebih seperti orang menggunakan high heels.
Emma menunggu kedatangan pemilik suara itu.

"Emma? Kau kembali?" sapa Lucy mengeratkan jaket tebalnya karena cuaca saking dinginnya kala itu.
Ahh, lega sekali Emma bertemu Lucy yang telah ia anggap sebagai ibu kedua nya.

"Lucy... Help me" ucap Emma menatap lekat Lucy.

Emma kini duduk di dekat perapian. Ditemani secangkir teh hangat.
Hujan memang belum turun namun suara gemuruh guntur terus terdengar.

"Aku terkejut membaca berita yang katanya berasal dari perusahaan penerbit di Indonesia" celetuk Lucy menuangkan air panas ke dalam cangkir nya.

"Kau sudah membacanya? Demi tuhan, itu bukan aku yang menulisnya Lucy" Emma membalikkan badan dan memandang Lucy mencoba meyakinkan bahwa memang bukan Emma yang menerbitkan cerita itu.

"Aku tahu Emm, aku tahu dirimu adalah orang yang baik dan tidak akan memberitakan keburukan orang lain" Lucy membawa secangkir teh hangatnya dan duduk di sofa tepat disamping Emma.

"Apa yang harus aku lakukan? Secara tidak langsung, aku telah menyakiti Marc. I messed up everything" ucap Emma tertunduk.

"Satu-satunya cara adalah meminta maaf dan menjelaskan semuanya. Aku tahu semua tentang perasaanmu, tunjukkan lah padanya Emm. Tunjukan rasa sayang dan cintamu itu pada Marc. Aku yakin dia juga merasakan hal yang sama seperti apa yang kau rasakan" saran Lucy. Emma mengerti dan berdiri dari duduknya.

"Kau mau kemana? Akan turun hujan deras. Mobil pun juga sedang dibawa Andres keluar kota" cegah Lucy saat melihat Emma akan melangkah keluar dari pintu.
Mendengar penuturan Lucy, Emma berhenti tepat diambang pintu tanpa berbalik.

"Aku mencintai Marc. Aku sangat mencintainya. Bahkan aku sangat rindu dengan senyuman nya, tawanya, cara dia berbicara. Semua tentang dirinya. Aku akan memperjuangkan apa yang pantas untuk ku perjuangkan"

New Romantics (Marc Marquez Fanfict)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang