Prolog

22.2K 892 21
                                    

"Pergi! Tinggalin gue sendiri. Gue gak butuh perhatian dari elo. Lo tu sama aja kayak cewek-cewek ganjen yang ngejar-ngejar gue. Detik ini juga kontrak kita berakhir dan gue harap elo hapus rasa cinta loe itu ke gue dan pergi jauh dari hidup gue!" Langkah Ali terhenti, teringat sesuatu yang juga lebih penting dari semua kalimatnya.

"Satu lagi, jangan pernah ikut campur dengan apapun yang gue lakuin dan yang gue rasain! Elo gak punya hak buat ngatur hidup gue karena elo bukan siapa-siapa gue. Permisi." Ali tak memperdulikan Prilly yang sejak tadi mematung di tempatnya dengan kedua tangan yang mengepal di samping paha.

Dengan langkah besarnya, Ali berjalan melewati Prilly tanpa melihat bahkan melirik gadis yang mematung itu. Seolah tak perduli bahwa kalimatnya menyakiti hati gadis itu.

Saat ini yang dirasakan Prilly seperti ada sebuah tombak yang masuk ke telinganya dan berbelok menuju jantungnya, gadis itu tak bisa lagi berkata apa-apa. Lidahnya kelu seperti tersayat sembilu. Dan tanpa ampun, tombak itu mengoyak gendang telinga dan jantung Prilly, menimbulkan rasa nyeri yang sangat menusuknya tajam.

Padahal suara Ali tak seperti petir yang menyambar, dia hanya bersuara seperti lantunan syair yang keluar lewat suara, tapi, kenapa Prilly merasa suara lembut itu seperti pisau tajam dalam lipatan buku, pergerakannya hanya sedikit tapi mampu mengoyak lembaran tipis buku itu dengan sangat sempurna.

Enggak berdarah, tapi kenapa rasanya sakit?

Berkali-kali gadis itu meremas dadanya, sepertinya dia mengalami serangan jantung mendadak akibat lantunan mematikan dari suara Ali.

Sekuat tenaga dia menahan air matanya agar tak jatuh, cukup! Sudah cukup dia menangis untuk orang yang bahkan tak pernah menganggapnya ada.

1 detik

2 detik

3 detik

Tubuh Prilly meluruh, seperti kain yang jatuh dari gantungan baju.

Air mata yang ditahannya dengan tembok beton sudah mampu membobol pertahannya, bahkan saking leluasanya, air itu meronta seperti banjir bandang yang tiba-tiba muncul tanpa pertanda.

Kenapa mencintai harus sesakit ini? Apakah perjuangannya sudah cukup sampai disini?

Padahal sejak awal dia sudah berjanji akan bertahan sesakit apapun rasanya.

Nyatanya hati itu lebih bodoh dari otak!

~~~♥♡♡♡♥~~~

Suara bell pintu yang menggema di rumah minimalis itu menghentikan Yuki dari aktivitas memasaknya.

Jam di dinding masih menunjukkan pukul 6 pagi.

"Siapa sih pagi-pagi buta gini namu?" Yuki menggerutu sambil mematikan kompornya.

Ting tong..

Bell itu terdengar lagi, buru-buru Yuki menuju ke ruang depan.

Sementara itu, seorang laki-laki dengan kemeja merahnya menunggu dengan cemas di depan pintu. Berharap jika orang yang dicarinya berada di rumah ini.

Suara kunci yang dibuka dari dalam membuat jantung laki-laki itu berdebar, saking berdebarnya dia membalik tubuhnya membelakangi pintu. Rasanya tak siap jika orang yang membuka pintu itu bukan gadisnya.

Saat pintu dibuka, laki-laki itu membalik badannya ke arah pintu, membuat pandangan matanya jatuh kepada manik mata milik seorang yang di carinya selama ini.

Akh... rasanya seperti menemukan oase di padang gurun. Senyum mengembang di bibirnya terlihat begitu kentara. Matanya yang biasanya menatap dengan tatapan yang tajam kini berbinar, seperti kilauan matahari yang muncul dari peraduannya.

Sedang Yuki membeku di ambang pintu, kalau bisa dia ingin menutup lagi pintu itu dan menguncinya rapat dari dalam, tapi melihat sorot mata itu membuat Yuki kembali bimbang dengan perasaanya.

"Yuki... a-akhirnya... akhirnya gue ketemu sama elo! Yuki, gu-gue... seneng banget." Laki-laki itu memeluk Yuki yang masih membeku.

"Al... lepasin. Gu-gue sesek nafas," ucap Yuki terbata, saat dirasa pelukan Al membuat Yuki kesakitan, sebenarnya bukan tubuhnya yang sakit tapi hatinya, cengkraman jiwa Al begitu kuat mengunci hatinya yang sudah mulai meluruh.

"Sorry, gue cuma kelewat bahagia aja." Al masih tersenyum, saat ini dalam hatinya seakan ada ribuan kupu-kupu yang terbang beraturan, mengisyaratkan rasa yang sungguh luar biasa, indah dan melegakan.

"Bukan... bukan bahagia, tapi lebih bahagia, akh... gue bingung. Pokoknya gue seneng banget bisa ketemu sama elo Yuki." Al menggenggam tangan mungil Yuki yang terasa pas di genggamannya.

"Al.." suara Yuki melemah, sejenak Yuki menelan salivanya, entahlah, harusnya dia bahagia karena ternyata Alfred adalah manusia yang begitu mencintainya berjuang untuk mencarinya. Yuki bisa merasakannya, dan saat ini gurun tandus milik Yuki sedang dilanda hujan, hujan gerimis yang tertata tapi begitu menyegarkan.

"Gue gak disuruh masuk?" Al mengerling ke arah Yuki, membuat Yuki mengalihkan pandangan wajahnya dari tatapan mata Al yang begitu memabukkan.

"Mama..." suara serak milik Keyla mengagetkan Yuki dari kecanggungannya, dengan senyum mengembang Yuki segera menghampirinya.

Sementara Al menatap gadis itu kemudian menatap Yuki, bergantian. Membuat Yuki tak acuh dan menatap Keyla dengan penuh sayang.

"Eh cantiknya mama udah bangun?" Yuki menggendong gadis kecil itu dan mengecup keningnya.

"Om ganteng..." Keyla mengacungkan jari mungilnya ke arah Al yang masih membeku, raut wajah Al saat ini menambah kekhawatiran hati Yuki.

"Pacalnya mama ya?" Bocah itu tersenyum menunjukkan giginya yang rapi, membuat Yuki membelalakan matanya dan segera menggeleng keras.

"Dia siapa Yuk?" Ucap Al terbata,

"Namanya Mikeyla Anastasya Haydn, anak gue." jawab Yuki pasti,

Kilatan kegundahan dan rasa curiga muncul dari sorot mata Al, rasanya tusukan ribuan jarum sedang menancap tepat di jantung dan hatinya. Mencabiknya tanpa ampun dan meninggalkan luka yang entah bisa diobati atau tidak.

Bagaimana bisa gadis usia 19 tahun memiliki anak? Mungkinkah Yuki? Berbagai macam pikiran buruk muncul dalam benak Al, menampilkan ekspresi wajah yang susah diartikan.

"Sekarang loe tahu alasan gue nolak loe kan, dan gue yakin mulai sekarang elo gak mungkin lagi mau deketin gue. Kalau udah gak ada urusan lagi, mending loe pulang. Gue masih banyak pekerjaan." Yuki menangkap raut wajah Al yang sedikit berbeda, dalam hati Yuki yakin Al tak mungkin bisa menerima keadaan Yuki saat ini.

Tak mungkin ada seorang laki-laki yang akan menerima Yuki dan menerima Mikeyla, anaknya yang sudah dirawatnya selama 3 tahun.

Yuki bukan gadis baik seperti yang dipikirkan oleh banyak orang yang baru mengenalnya.

***

HARMONIZEWhere stories live. Discover now