Persahabatan

4.9K 403 28
                                    

Musim berganti, cakrawala yang biasanya mendung kini nampak berseri, hujan sudah enggan untuk menyentuh kulit ari bumi. Kali ini, anginlah yang berperan lebih banyak, membuat begitu banyak udara seakan tersalurkan lewat setiap nano sentuhannya.

Diantara rindangnya warna hijau yang menaungi semut dan serangga lainnya, ada satu orang yang masih terpuruk dalam perasaannya. Cinta tak selamanya membawa bahagia, karena bahagianya cinta itu sangat rapuh dan gampang goyah, apalagi jika cinta itu masih seruas jari tangan.

"Elo kenapa sih Prill? Kok dari kemarin gue perhatiin loe jadi cuek banget sama gue?" Ali, menatap lekat ke arah Prilly yang sedang duduk termenung, semenjak kejadian kemarin, Prilly menjadi lebih sensitif, dan Ali yang tidak tahu apa penyebabnya mencoba untuk mencari tahu.

Desiran angin menyentuh rambut Prilly, membuat poni gadis itu bergerak, beberapa helai sulur rambutnya yang panjang, menyentuh wajah Ali.

"Gue gakpapa kok biasa aja tu!" Seperti sebelumnya, Prilly pun sekarang terkesan jutek saat menjawab pertanyaan Ali.

Helaan nafas dan hembusan ringan setelahnya membuat Ali hanya bisa pasrah, dia memang pecinta wanita, tapi untuk bisa mengerti mereka, dia masih butuh waktu.

"Terus? Kenapa sekarang kok jadi jutek gitu sama gue?"

Hening...

Prilly memilih untuk bermain dengan sepatunya yang menyaduk rumput di bawahnya.

"Loe marah sama gue ya?"

"Enggak, ngapain gue marah sama elo, gue kan bukan siapa-siapa elo."

Akhirnya, Ali mengerti sekarang, rupanya gadis itu marah karena Ali mengatakan pada Boy jika mereka tidak memiliki hubungan apapun, padahal jelas, bangku taman yang mereka duduki saat ini, adalah saksi bisu ciuman mereka tempo hari.

"Kok gitu sih Prill? Gue minta maaf ya? Gue tahu, elo marah gara-gara kemarin kan?"

Tak bisa dipungkiri, hati Prilly saat ini tengah diliputi banyak tanya, dia butuh penjelasan, tapi rasa gengsinya membuat Prilly enggan untuk bertanya.

"Gue gak marah, gue gak ada hak buat marah sama elo." Bibir Prilly mengkerucut. Ali tersenyum karenanya.

"Gak butuh status buat saling mencintai kan?" Ali menyentuh punggung tangan Prilly, dan mengelusnya sesaat.

"Gak butuh status? Trus buat apa donk elo gue jadi kita tapi gak ada status apa-apa? Gue cewek, dan cewek selalu butuh kejelasan, bukan kayak gini."

Marah gadis itu memuncak, tidak salah kan jika wanita selalu butuh kejelasan dalam suatu hubungan? Memangnya hubungan tanpa status itu enak?

"Prilly...," lantunan suara yang keluar dari pita suara Ali melalui mulutnya, membuat Prilly terhanyut, sapaan lembut itu menyentuh gendang telinganya dan turun masuk ke jantungnya, membuatnya mengalami desiran aneh yang entah kenapa ia suka.

"Gue... elo... kita... adalah sahabat, sahabat yang akan selalu saling mencintai satu sama lain, sahabat yang akan selalu saling mendukung, sahabat yang akan selalu saling cemburu jika di antara kita lebih perhatian ke orang lain, dan seorang sahabat yang bahkan lebih dari sepasang kekasih. Gue... Aliant Dei Dirgantara, akan selalu jadi sahabat hidup Prilly Secioria Jillian, Se.la.ma.nya." Prilly tertegun, perasaan bahagia tetiba memuncak, memicu tubuhnya yang mungil untuk bersandar dan bersembunyi pada tempat terindah yang selalu membuatnya merasa nyaman, dada bidang Ali.

"Masih butuh kejelasan status? Hngg..." Ali mengelus rambut panjang Prilly dan menghirup aroma shampoo gadis itu.

"Jadi kalo ditanya, hubungan kita apa, kita cuma perlu jawab, sahabat hidup?"

HARMONIZETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang