𓊈58𓊉 Reuni Akbar

8 1 0
                                    

Aku terkesiap dalam keadaan yang canggung begitu pun dengan perempuan yang bernama Arsya ini. Aku ingat namanya karena ayah pernah menyebutkannya sekali padaku.

Kami membisu dan mematung di antara begitu banyak orang yang bising dan berlalu menuju satu arah tanpa jeda sedikit pun. Dalam diam kami, tiba-tiba aku merasa luka-lukaku yang di perban kian tertarik. Aku sedikit meringis namun tak mengaduh. Tante Arsya terkesiap menatapku, dan meletakkan tangannya di antara sikuku. Ia memandang lekat ke raut wajahku. Sepertinya ia menyadari ada sesuatu yang terjadi padaku.

"Kamu gak apa-apa?" Tanyanya nampak begitu khawatir, dan aku menolak raihan tangannya padaku. Ia tercengang namun memakluminya.

"I'm okay." Singkatku datar dan angkuh. Tak biasanya aku berbicara bahasa Inggris, mungkin saja aku sedang kesurupan hantu Maxim yang songong. Ia memundurkan sedikit langkahnya ketika mendapat penolakan dariku, membuatku dapat melihat jelas balutan pakaian yang tengah ia kenakan.

Sebenarnya aku tak terlalu perduli pada orang lain, apalagi pada baju yang mereka kenakan, tapi.. untuk kali ini aku dapat menyadarinya. Warna bajunya hampir selaras dengan warna baju ibu. Kenapa juga bisa kebetulan begitu? Jangan bilang kalau ayah yang meminta mereka untuk mengenakan baju dengan warna yang sama, atau jangan-jangan...

Ayah yang membelikan tante ini baju yang hampir sama dengan yang ia belikan untuk ibu?

Tidak! Kenapa aku malah berspekulasi dan berpikiran negatif. Mana mungkin ayahku begitu.

Aku menggeleng pelan, lalu meringis sambil menyentuh kepalaku, membuat tante Arsya kembali mendekat untuk menghampiriku. Namun lagi-lagi aku membuat tembok pertahanan setinggi tembok besar China.

"Kamu beneran gak apa-apa? Kayaknya.. tangan sama kepala kamu sakit deh.." Ujar tante Arsya sambil mengamati tubuhku.

Memang luka di tanganku sedikit sakit karena bergerak cepat dan reflek untuk menangkap tubuh wanita ini. Tapi tak ada penyesalan bagiku menolongnya meskipun aku harus merasakan sakit. Karena manusia tak perlu alasan logis untuk saling bantu, sebagaimana rasa benci dan juga rasa cinta yang tak memerlukan alasan-alasan tertentu.

Tubuhku bergetar bukan karena menahan rasa sakit di permukaan kulitku yang terluka, tapi karena menahan sakit di dalam hatiku yang serasa bagaikan luka dalam yang menganga, lagi tersiram air garam.

Aku masih belum bisa memaafkannya dan juga ayah, sekarang aku harus bertemu dan berhadapan dengannya. Pertemuan terakhir kami benar-benar membuat hatiku kacau, lalu apa lagi ini?

Hatiku kembali kacau meski aku berusaha tenang dan menyembunyikannya. Suhu badanku serasa memanas, menahan emosi yang tercekat di kerongkongan. Aku mengepalkan kedua tanganku dengan erat, membuat aliran darahku berkumpul pada telapak tangan.

Tubuhku bergerak lebih sering dari keadaan normalnya karena jantungku memompa dengan begitu cepat. Rasa di hatiku kian bergejolak, dan aku benar-benar tak tahan lagi ingin meluapkannya.

Bukankah kakek bilang, kalau ada seorang perempuan yang satu sekolahan dengan ayah saat SMA, dan perempuan itu yang menyebabkan putusnya hubungan percintaan ayah dan juga ibu.

Kedatangan tante Arsya ke reuni akbar ini membuktikan kalau ia memang pernah satu sekolahan dengan ayah, dan itu adalah kemungkinan yang sangat besar.. Kalau tante inilah mantan ayah yang di maksud oleh

kakekku.

Ini semakin menguatkan dugaanku, kalau ayah memang berselingkuh dengan perempuan ini. Apa ibu kenal dengannya? Apa ibu tahu perempuan ini akan datang dan bertemu dengan ayah? Makanya, saat kami makan malam dan ayah menceritakan tentang reuni akbar, aku melihat mimik wajah ibu berubah menjadi sedih.

【 COPY K.U.N 】ADGAMDonde viven las historias. Descúbrelo ahora