𓊈53𓊉 Ayah dan Agam

6 2 0
                                    

Aku menoleh ke arah jendela. Aku begitu mengenal deru mobil ayah, meskipun ia baru masuk ke gang depan rumah suara mobilnya yang meraung bak mobil balapan sangat jelas terdengar di telingaku. Berisik, tapi artistik.

Suara gerekkan pagar besi menambah keyakinanku, bahwa ayah sudah pulang. Bersama ibu kah? Atau sendirian? Tak lama berselang, aku mendengar suara tertawaan ibu. Sepertinya mereka memang pulang bersama.

Kun tak bergeming sedikit pun. Aku tahu ia tak akan perduli kalau orang tuaku pulang ke rumah atau tidak. Kun menggerak-gerakkan kakinya sambil menatapku. Aku pun mengabaikan suara ayah dan ibu. Aku semakin nyaman dan mantap duduk di atas kasurku meskipun aku hanya terduduk di kasur paling ujung.

Aku dan Kun terdiam cukup lama sambil saling berhadapan satu sama lain. Seolah-olah meyakinkan kedua orang tuaku bahwa aku tak pernah berada di kamar ini bersama sosok lain. Aku selalu sendirian, dan akan terus sendiri.

Begitu masuk ke dalam rumah, ayah langsung menuju ke kamarku. Ia membuka pintu kamar, menampakkan dirinya yang masih menggunakan pakaian kantornya dengan lengkap, namun ia sudah membuka jas miliknya yang kini ia selempangkan ke lengan. Sementara lengan satunya lagi di lilitkan ibu dengan tangannya.

Ayah masih memapah ibu karena luka ibu belum sepenuhnya sembuh. Dan ku harap, ibu tak akan mendapatkan luka baru setelah ini karena itu benar-benar akan menyakitiku. Apalagi kalau luka itu.. adalah luka yang tak akan bisa di sembuhkan dengan obat merah, karena berasal dari dalam hati.

Ku lihat rambut ibu nampak kering namun tak bervolume. Seolah rambut lepek yang di penuhi keringat, lalu di tiup deru AC mobil sampai kering.

Raut wajahnya terlihat ceria, tapi entahlah.. aku penasaran sekali kenapa sorot matanya begitu lelah. Meskipun itu adalah hal yang wajar di tampakkan oleh orang yang baru pulang kerja.

Mereka berdiri di tengah pintu sambil memamerkan makanan kesukaanku, lempah kuning iga dengan daun pucuk kedondong. Mereka bermaksud untuk mengajak dan menggiringku makan bersama di belakang. Dan maksud mereka itu benar-benar tersampaikan pada penunggu perutku.

Berhubung cacing di dalam perutku berteriak keras ketika hidungku mencium aroma makanan yang di bawa ayah dan ibu, aku pun bergegas menghampiri mereka dan meninggalkan Kun sendiri di dalam kamar. Sampai di dapur, aku membantu ayah menyiapkan mangkuk dan juga piring ke atas meja.

Aku menimba nasi porsi kuli. Siang tadi aku tak bisa makan karena semua makanan yang harusnya bisa bertahan sampai siang hari malah basi akibat ulah Kun.

Ibu menatap heran ke arahku. Mungkin karena tak biasa melihat aku makan sebanyak itu.

Di sela-sela waktu makan kami. Kun tak menampakkan kehadirannya sama sekali. Ayah asik bercerita tentang rencana akhir pekannya. Ia bilang kalau undangannya sudah di perbahrui di IG, satu orang bisa mengajak tiga orang anggota keluarganya. Tentu saja, kan aku yang membuat undangannya.

la begitu senang dan telah memesan baju couple di butik langganan ibu. Berhubung baju yang nanti akan mereka kenakan adalah baju cual khas Bangka. Ia ingin ibu terlihat cantik di hari itu dengan baju cual pilihannya. Padahal bagiku, di hari apa pun ibuku selalu menjadi yang tercantik. Ayah pun menawariku untuk memakai baju yang sama dengan mereka.

Tentu aku menolaknya dengan perasaan was-was. Kalau aku masih kecil, aku akan manut saja jika di belikan mereka baju apa pun. Tapi, aku yang sudah sebesar ini akan merasa malu memakai pakaian pemberian dari mereka. Bukannya tak bersyukur dan tak tahu terimakasih, tapi aku punya pengalaman unik tentang baju yang mereka pilih.

Aku ingat sekali, di ulang tahunku yang ke lima belas tahun, ayah membelikan aku celana jeans gebor. Memang sih harganya mahal, tapi itu memalukan untuk di pakai anak seusiaku.

【 COPY K.U.N 】ADGAMWhere stories live. Discover now