𓊈28𓊉 Rumah Nenek-Kakek

17 2 0
                                    

Mataku mulai mengawasi. Awalnya memang ku rasa tak ada yang aneh setiap kali kesini. Tapi kenapa, untuk kali ini aku merasa sedikit cemas dan gelisah? Seperti merasa sedang diikuti?

Apa mungkin karena Kun ikut?? Tapi tubuhku sudah menyesuaikan diri bersama Kun. Aku tak merasakan merinding atau sesuatu yang membuat hatiku tak nyaman jika bersamanya. Hanya ada saat-saat tertentu yang akan membuatku merinding dan takut padanya.

Tapi.. kenapa rasa ini sangat berbeda? Aku semakin gelisah. Bahkan aku sampai mengerjap lebih sering dari pada biasanya. Tengkukku mulai merasa panas, dan ku harap Kun tak menyadarinya.

"Tubuh kamu melemah?" Ucap Kun tak lebih dari sekedar pertanyaan. Aku hanya diam, takut-takut ketika menjawab aku akan terdengar gemetaran.

Ku lantunkan doa di dalam hati. Kun tak akan dengar kan? Karena ia tak mampu mendengar suara hatiku. Tapi ia terlihat gelisah setelah aku mulai berdzikir.

Meski tak bersuara, ternyata kekuatan dzikir itu mampu menembus gaib.. Ia nampak mengernyit dan meringis, pasti karena aku mulai membentengi diri. Apa dia kepanasan?

Ya, tahan dulu sebentar Kun, karena kita akan segera sampai.

. . .

Aku mulai masuk gang di perkampungan kakekku. Di depan gang ada masjid kecil dengan cat berwarna biru, dulu waktu masih kecil, aku, ayah, dan kakek suka pergi ke sana bersama untuk melaksanakan shalat berjamaah.

Masjidnya tak nampak berubah sama sekali. Masih sama, hanya cat pagarnya yang sedikit mengelupas.

Di dekat rumah nenek pun banyak pohoh belinju, yang memisahkan antara rumah satu dengan yang lainnya. Ada beberapa rumah di sini, tapi berbeda sekali dengan di kota. Yang terkesan berhimpit antara pagar rumah satu dengan yang lainnya. Pagar mereka terkesan alami, pohon-pohon belinju, pohon cermai, pohon pete dan juga pohon kelor.

Space-nya masih banyak yang kosong, dan membiarkan rumput dan tumbuhan liar untuk hidup subur di sana.

Jalan setapaknya hanya dari tanah yang di lapisi daun kering yang berguguran, tak di lapisi tanah merah, batu kerikil, apalagi aspal. Kalau musim hujan, motor merahku ini pasti akan kotor karena becek.

Beberapa orang yang duduk di teras-teras rumah memandangiku bak lauk enak yang siap di santap. Aku memaklumi, karena begitulah pandangan mereka pada orang yang datang, namun tak mereka kenal.

Mereka terlihat duduk sambil membaca kertas bertulisan arab di atasnya. Ada yang duduk sambil mencari kutu di rambut anaknya. Ada yang membawa piring sambil makan di teras depan rumah. Hmm, jarang ku temui yang seperti ini di tempatku.

Aku lantas membuka kaca helm yang menutupi wajahku. Menunduk singkat bak memberi salam ramah sambil mengumbar senyuman.

Mereka terlihat senang. Ekspresi sinis mereka seketika berubah ramah. Mereka langsung melambaikan tangan sambil tersenyum memperlihatkan gigi-giginya. Bahkan ada yang sampai beranjak dari kursi hanya untuk melambaikan tangannya. Memang di pedesaan orang-orangnya akan ramah dan baik, kalau kita pun sopan dan baik pada mereka.

Kun hanya diam memperhatikan. Tangannya masih meremas tas gunung yang ku letakkan di belakang punggung.

Hingga kami sampai pada rumah dengan dinding dari batako putih tanpa di tutupi semen. Aku menengadah melihat ke atas. Atap dari daun kering kini berganti menjadi genteng merah yang telah tertutupi lumut.

Ini bukan ya rumah kakek nenek? Aku lupa, karena terakhir pergi ke sini saat aku masih kelas lima SD.

Sepertinya memang ini. Di depan rumahnya banyak di tanami bunga-bunga harum, seperti kenanga, mawar, melati, sedap malam dan banyak lagi yang tak ku ketahui namanya. Ibu senang menanam bunga, karena nenek pun senang melakukannya.

【 COPY K.U.N 】ADGAMWhere stories live. Discover now