Malam Jaemin dilanjutkan dengan pergi ke sebuah warung kopi belakang sekolah yang merupakan menjadi tempat nongkrong para siswa. Tapi karena ini hari libur, tak ada orang di sini.
Lia sudah pulang karena ini sudah terlalu larut. Jaemin tak tega melihat Lia yang menemani dirinya yang menyedihkan ini.
"Mba, kopi item satu," ucap Jaemin pada penjaga warung kopi itu. Karena warung ini memang 24 jam, sepertinya Jaemin akan menghabiskan malamnya di sini. Entah menghabiskan waktu dengan bermain game, tertidur, atau mungkin membantu mencucikan piring.
Baru saja hendak membuka game, sebuah pesan dari Haechan masuk.
Haechan
Oi
Dimane
Jaemin
Knp
Haechan
Ye sialan
Ngapa lagi lu
Tumben lu yang cabut
Jaemin
Tar w ceritain
Haechan
Yaudah
Nginep sini gak?
Jaemin
Kagak
Haechan
Di mana lu?
Rumah Rafa?
Jaemin
Kagak
Haechan
Idih
Yaudah tiati sayang:*
Bukannya tak percaya Haechan, ia tahu Haechan juga peduli. Tapi saat ini ia tak mau bertemu Jeno sama sekali.
Rintik hujan di tengah malam mulai turun dan membuat suasana semakin sendu. Jaemin larut dalam pikirannya yang terhipnotis oleh suara air yang menghantam tanah.
Terputar kembali masa kecilnya bersama Jeno yang sangat, hangat. Tak hanya dengan Jeno, tapi juga dengan Bunda.
Ia semakin tak mengenali kedua sosok itu dalam hidupnya. Bertumbuh dewasa membuat kenyataan terasa lebih pahit dan dunia lebih keji. Tak semua yang ia pikirkan akan masa lalunya benar.
Tapi ia masih tak mengerti mengapa semuanya berubah sekarang. Mengapa semuanya tak seperti dulu, ketika Bunda mengantar mereka ke sekolah dan berkata bahwa tak memiliki ayah bukanlah hal yang buruk dan bukan sesuatu yang memalukan.
Sejak kecil, ia sudah paham kalau tak memiliki ayah adalah kenyataan, dan mereka bahagia saat itu.
Jaemin memasang tudung kepala dari jaket yang dipakai Lia tadi lalu menyembunyikan wajahnya dari dunia.
Kenapa semuanya hancur perlahan. Mengapa menua membuatnya sadar kalau ketidaksempurnaan itu adalah salah satu kecacatan dalam hidupnya. Menua juga membuat ego setiap orang bermekaran.
"Misi, Bang, mau nyolok chargeran."
Seseorang membangunkan Jaemin dari lamunannya dan membuat ia langsung menoleh pada orang itu.
"Eh, elu, Jaem."
"Eh, Hyunjin."
Hyunjin yang selama ini sering mengganggu mereka rupanya. Kenapa pula ia di sini, di saat yang tidak tepat ini.
Jaemin sedikit bergeser dari posisi tubuhnya yang agak menghalangi stop kontak di balik tubuhnya.
"Sendiri aja lo? Jeno mana?" tanya Hyunjin sambil men-charge ponselnya lalu duduk di kursi dekat Jaemin.
YOU ARE READING
Fraternal | Jeno Jaemin
Fanfiction[end✔️ | sudah terbit] "Sebenernya, ayah kita ke mana sih, Bun?"