33. Kursi Tanpa Sandaran

211 21 1
                                    

"Kok kalian belum pulang? Ini udah lewat dari jam 6."

Om Donghae segera mendatangi mereka berdua yang sedang menunggu kendaraan umum di halte.

"Anu, tadi kita jalan ke sini memang agak telat, soalnya sekolah tadi sampe sore masih ramai, jadi belum bisa turun. Terus kita lagi nunggu bis," ucap Jeno sambil tersenyum canggung.

Donghae menghela napas melihat kedua anak ini begitu pasrah dengan keadaan mereka. Tanpa basa-basi, ia segera membukakan pintu mobilnya.

"Cepet masuk. Saya ga mau denger penolakan. Bunda kalian pasti khawatir jam segini kalian belum pulang." Donghae membereskan file-file dan laptopnya agar Jaemin dan Jeno bisa duduk dengan nyaman.

Donghae membantu Jaemin masuk ke dalam mobilnya, dengan cukup susah payah seperti biasa. Ia tak masalah. Bagaimanapun, Jaemin, anak ini adalah anak kandungnya.

Setelah Jaemin cukup nyaman, Jeno menyusul dan duduk di bangku depan. Tak enak jika ia duduk di belakang, Donghae jadi terlihat seperti supir, padahal Jeno sangat menghormati Donghae.

"Makasih ya Om udah tebengin kita," ucap Jaemin pelan dari bangku belakang.

"Gak perlu bilang makasih. Kalian setiap hari memang pulang jam segini?" tanya Donghae sambil menatap jalan.

"Kalau sekarang sih, iya. Kita gak bisa pulang cepet-cepet. Soalnya banyak orang kalo baru abis bel, jadi kita tunggu sekolah sepi baru turun," jawab Jeno sambil ikut fokus menatap jalan.

Mereka terhenti di sebuah lampu merah lalu Donghae melirik Jeno sedikit. "Pakai seat belt-nya," ujar Donghae lalu menarik seat belt Jeno. Jeno menurut lalu melanjutkan tangan Donghae dan memasang seat belt itu sendiri.

"Terus kalau kalian tunggu sepi sampai gak ada bis gini, gimana?" tanya Donghae lagi.

"Eng, gak tahu sih, Om. Kemarin kita baru hari pertama masuk, pulang bareng temen. Hari ini ternyata agak telat jadi gak ada bis," ucap Jeno kembali menyahuti Donghae.

"Ya udah, besok-besok saya yang jemput aja ya kalau gitu? Daripada gak ada bis lagi. Lagian naik bis juga pasti ribet kan? Berangkat juga nanti saya yang jemput."

Jaemin dan Jeno saling bertatapan canggung di sela-sela gelapnya dalam mobil.

"Gak usah Om, ngerepotin. Kita bisa kok tiap pagi naik bis juga. Kita soalnya naik bis pertama, jadi masih agak sepi," ucap Jaemin dari belakang.

"Rumah kalian ke halte di depan komplek itu jauh, kan? Udah. Besok kalian siap-siap aja. Saya yang jemput sekalian berangkat kerja." Donghae sangat memaksa sampai mereka tak tahu harus merespon bagaimana lagi.

"Memang kantor Om di mana?" tanya Jeno ragu.

"Jauh sih dari sekolah kalian. Tadi saya ke sana karena meeting sama orang. Tapi ya gapapa, saya masuk kantor juga jam 9. Pulang kerja jam 4, jadi bisa sampe ke sekolah kalian pas waktunya."

Jeno menggaruk canggung kepalanya yang tak gatal sambil mencuri-curi melirik Jaemin yang sama kebingungannya.

"Kita bilang Bunda dulu gak, Jen?" tanya Jaemin pelan.

"Nanti saya yang ngomong ke Bunda kalian. Gampang kok. Bunda kalian juga pasti gak mau anaknya harus susah payah naik bis. Kita gak mungkin tega lihat kalian naik bis kayak gini."

Jeno sempat mengangkat alisnya dengan pemilihan kata unik Donghae. Kenapa Donghae menyebut dirinya dan Bunda sebagau "kita"?

Ah, mungkin maksudnya sama-sama dari perspektif orang dewasa. Entahlah, tak begitu penting juga memikirkan hal acak seperti itu.

Fraternal | Jeno JaeminWo Geschichten leben. Entdecke jetzt