9. Mengadu

399 62 0
                                    

Jeno tertidur di IGD dengan selang oksigen di depan hidungnya. Sang adik, Jaemin, hanya bisa memandangi kakaknya dengan lemas. Sedikit cemas, entah karena kesehatan kakaknya atau karena bundanya yang sebentar lagi akan menyelesaikan shiftnya.

Bunda tadi terburu-buru mengurus mereka. Ia menyerahkan putra sulungnya pada perawat di IGD.

Jeno baik-baik saja. Ia hanya sesak napas dan butuh oksigen. Mungkin dapat menjadi indikasi asma, tapi entahlah. Rasanya anak itu tak pernah menunjukkan gejala asma selama ini.

Jaemin berpikir lain. Ia teringat dengan kepulan asap rokok di tempat tadi. Bukan Jeno terkena sebuah penyakit serius. Paru-paru Jeno hanya lebih sensitif dibanding orang lain. Selain itu dan alerginya dengan kucing, fisiknya baik-baik saja.

Tak merasa bosan ia memperhatikan kakaknya tertidur. Sesekali ia memegangi jemari kakaknya. Kalau-kalau tiba-tiba terasa dingin dan kaku.

Sempat terlintas di benaknya. Jika kakaknya pergi lebih dulu dari dunia ini, akan sekacau apa dirinya sendirian?

Seberapa ia bercek-cok dengan kakaknya, tak akan membuat ia membenci kakaknya itu. Jeno sangat berharga baginya.

"Jaem?"

Suara yang tak asing itu terdengar cukup dekat di telinga Jaemin. Ia menoleh ke balik tirai. Ternyata bundanya baru saja datang dengan tas dan kantong plastik yang berisi makanan.

"Tadi kata dokter apa? Dia asma?" tanya Bunda sambil menarik kursi kosong dari bangsal sebelah.

"Engga, Bun. Cuma sesek aja," jawab Jaemin pelan.

Bunda duduk di sebelah Jaemin dan menatap anaknya yang terbaring pucat itu.

"Kok bisa sesek? Emang abis olahraga apa gimana?" tanya Bunda dengan wajah khawatir.

Jaemin bungkam ketika Bunda bertanya alasannya. Bunda sangat khawatir, tapi Jaemin hanya terdiam membuat pertanyaan Bunda hanya mengawang-awang di udara.

"Hey, kok malah bengong? Kamu abis-- bentar."

Bunda tiba-tiba mendekat pada Jaemin dan mencium baju Jaemin. Ia juga berdiri dan mencium baju Jeno.

Ah, sial.

Bunda mengambil sesuatu dari saku kemeja Jeno lalu menatap Jaemin serius. Bunda tak berkata apa-apa. Ia hanya menuntut penjelasan atas barang itu. Mengapa barang itu ada pada lelaki kecilnya yang baru seumur jagung di sekolah menengah pertama.

Mata Jaemin menari kesana-kemari saat Bunda menatapnya. Seperti ada laser panas yang memancar dari mata Bunda.

"Kamu jelasin nanti di rumah sama Jeno. Bunda marah ya sama kalian."

Bunda meletakkan kantong plastik berisi makanan itu lalu pergi entah ke mana, mungkin mengurus administrasi.

Saat Bunda pergi, Jeno terbangun lalu terduduk di atas ranjang.

"Kamu bangun?"

"Tadi pas Bunda narik rokok, aku kebangun."

Jaemin duduk di atas kasur itu lalu menatap Jeno. Ia berusaha menahan tangis dan rasa takutnya. Tapi apa daya, Jeno paling paham perasaan Jaemin saat ini. Jaemin ketakutan setengah mati.

"Nanti aku yang ngomong. Udah, gapapa, kok."

Tepukan semangat di punggung Jaemin membuat kepalanya terjatuh begitu saja ke bahu Jeno. Ia enggan memeluk Jeno. Malu, mereka sudah cukup besar untuk berpelukan seperti itu.

Jaemin tak menangis. Hanya saja, langit rasanya runtuh tepat di kepalanya. Bayangan omelan Bunda membuatnya ngeri.

"Mau ngomong apa kamu ke Bunda? Kalau Bunda bikin kakak kelas pada dihukum, gimana? Kita lagi yang bakal dipukulin."

Fraternal | Jeno JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang