40. Berpindah

203 29 2
                                    

Saat itu, yang terbesit di benak Jaemin hanya betapa lelahnya wajah Lia.

Wajah berkulit cerah itu terlihat pucat dengan kantung mata tebal yang membuatnya seperti mengantuk. Belum lagi matanya yang agak kemerahan dan bibirnya yang kering.

Jaemin tak memikirkan intonasi kasar yang Lia lontarkan padanya. Dengan tarikan napas pelan, Jaemin tersenyum tipis lalu mengacak-acak rambut Lia lembut.

"Oke deh. Semangat ya, Lia."

Jaemin berbalik lalu memunggungi Lia yang masih terdiam menatap punggung lebar itu. Seiring langkah Jaemin menjauh darinya, Lia semakin menyesali hidupnya.

Ia terus mendorong orang lain yang mencoba berbuat baik padanya. Kepala dan bibirnya tak sinkron. Padahal, ia butuh seseorang seperti Jaemin yang mau mendengarkan ceritanya.

Tapi Jaemin juga menyesal saat itu. Ia menyesal mencoba memberikan kebaikannya pada Lia. Seharusnya ia tahu, ia hanyalah lelaki jahat yang sudah menyakiti hati perempuan yang menyukainya.

***

Ting!

Pintu lift terbuka saat sampai di lantai lobby. Jaemin dan Jeno menunggu orang-orang keluar dari lift sebelum mereka masuk ke dalamnya.

"Eh, kalian udah selesai makan?" Donghae yang baru saja keluar dari lift langsung menghampiri mereka berdua.

"Udah, Yah. Eh– Om," ujar Jeno yang masih canggung dengan panggilannya itu.

"Saya mau ke ATM dulu sebentar. Bunda kalian udah bangun. Kalian ke atas aja, ya," ucap Donghae yang diikuti dengan anggukan dari si Kembar.

Jeno dan Jaemin menurut lalu langsung masuk ke dalam lift sebelum pintunya tertutup.

Sesampainya di lantai tersebut, mereka berjalan mengitari berbagai koridor sebelum sampai di ruang rawat inap tempat Bunda dirawat. Suasananya agak sepi, mungkin karena bukan jam jenguk.

Jeno membuka pintu ruangan rawat inap Bunda tanpa mengetuk. Baru saja masuk, ia mendengar percakapan satu arah lain.

"Kita omongin dulu, Yunho. Kamu gak bisa ambil keputusan sepihak gitu. Aku jelasin dulu, ya?"

Bunda nampaknya tak sadar dengan kehadiran Jeno dan Jaemin. Jeno yang sedang melepas sepatunya mendengarkan perkataan dari bibir Bunda baik-baik.

"Kalau aku udah keluar rumah sakit kita ketemu, ya? Tolong lah."

Jeno terdiam. Ia bahkan tak tergubris untuk membuka sepatunya yang sebelah kiri.

Ia mematung mendengar perkataan Bunda. Bunda baru saja siuman. Mereka bahkan belum sempat bertanya kabar Bunda. Tapi yang Bunda pikirkan malah Dokter Yunho.

Jeno semakin bertanya-tanya, apakah tak terbesit di kepala Bunda untuk menanyakan tentang mereka? Apakah Bunda tak menantikan mereka saat ia terbangun? Apakah mereka tak lebih penting daripada calon suami Bunda yang masih asing di mata Jeno?

Menelan kenyataan pahit itu, Jeno semakin terdiam. Walau dadanya terasa panas dan lagi-lagi ia ingin membentak Bunda, tapi ia menahannya kuat-kuat.

"Jen, kenapa bengong?" bisik Jaemin lalu menjentikkan jari di depan wajah Jeno.

Jeno langsung tersadar dan membuka sepatunya yang belum dicuci selama tiga bulan terakhir.

"Engga," jawab Jeno, berat, sambil menahan pilunya.

Mereka berjalan menuju kasur Bunda yang tertutup tirai.

"Bunda, udah bangun?"

Bunda baru sadar atas kehadiran mereka setelah Jaemin menarik tirai Bunda dan menyapa Bunda tanpa beban.

Fraternal | Jeno JaeminWhere stories live. Discover now