7. Beranjak Dewasa

437 66 0
                                    

"Bunda ga tunggu kita pulang?"

"Kamu itu sekarang sudah SMP, sayang. Masa masih mau ditunggu? Malu, dong."

Jaemin menatap Jeno ragu-ragu di depan gerbang sekolah. Ini hari pertama mereka bersekolah di SMP, hari pertama masa orientasi juga. Aku jadi teringat saat pertama kali mengantar mereka masuk TK.

Pagi ini cukup cerah dengan ramainya siswa-siswi berdatangan dengan seragam mereka. Beberapa datang sendirian, beberapa datang bersama orang tuanya.

Sama seperti dulu, Jeno lebih suka mengamati lingkungan barunya. Dia fokus pada wajah-wajah baru. Rasanya sangat berbeda. Gedung sekolahnya pun terlihat lebih megah dari saat ia di bangku sekolah dasar.

"Sana, masuk. Kakak-kakaknya sudah pada nunggu, tuh." Aku menatap kakak-kakak panitia orientasi yang menunggu di depan gerbang dengan wajah minim senyuman. Kuharap anakku tidak jadi korban perpeloncoan konyol kali ini.

"Serem, Bun," ujar Jaemin dengan menggenggam tali tasnya erat-erat.

"Dasar anak kecil," ledek Jeno. Jaemin memutar matanya. Ia tahu, tak patut jika iya memukul Jeno di sini.

"Bunda pergi dulu, ya? Shift Bunda sebentar lagi mulai. Jaga diri baik-baik ya."

***

Anak kembar itu berjalan menuju ruang kelas mereka yang baru. Dari banyaknya kelas yang ada, mereka ditempatkan dalam satu kelas yang sama. Semakin dewasa, wajah mereka memang makin mudah dibedakan karena tak terlihat terlalu mirip. Mungkin tak akan jadi masalah bagi guru mereka sekarang.

"Ada yang mau ke toilet?" tanya seorang senior di dekat pintu.

Jeno dan Jaemin yang baru saja masuk kelas saling memandang. Mereka berdua mengabaikan pertanyaan senior itu lalu duduk di bangku pojok kelas dekat kipas angin.

Baru saja duduk, senior lain menghampiri mereka. Seorang perempuan berkulit cerah dengan bandana berwarna pink di kepalanya berhenti di meja mereka.

"Halo, dek. Namanya siapa?" tanya senior itu, dengan nada bicara yang cukup Jeno benci.

Jeno sangat benci perempuan feminim dan centil. Mungkin karena ia belum pubertas dan belum dapat merasakan yang namanya rasa suka, ia tidak memiliki ketertarikan sama sekali dengan perempuan.

Jaemin cenderung biasa saja. Ia lebih disukai di kalangan perempuan karena lebih ramah. Bahkan sejak sekolah dasar, banyak perempuan yang menyukai Jaemin karena keramahannya.

"Jeno."

"Aku Jaemin, Kak."

Andai saja Jeno memiliki kekuatan khusus, ia ingin menjadi tidak terlihat saat ini. Pandangan dari orang lain di kelas membuatnya tidak nyaman. Entah mengapa mereka cukup menjadi pusat perhatian di kelas ini.

"Lemas banget kamu, Jen. Belum sarapan, ya? Kakak ada makanan. Kamu mau?"

Jeno menggeleng-geleng kepalanya lalu menatap Jaemin dengan tatapan "Tolong aku."

"Jeno lagi sakit tenggorokan, Kak. Tapi sudah sarapan dan minum obat."

Senior itu malah menjadi makin penasaran ketika mengetahui Jeno sedang sakit, atau berpura-pura sakit lebih tepatnya. Sesaat ia hendak berbicara lagi, seorang pria datang dan berkata "Permisi, Kak, kursi di sini kosong?"

Mata Jeno berbinar tiba-tiba saat melihat sosok itu.

"Haechan!" sapanya riang lalu berdiri dari kursinya.

"Lah? Kamu di kelas ini juga?" tanya anak berkulit karamel itu dengan mata yang sama berbinarnya.

"Iya, sama Jaemin juga! Wah!"

Fraternal | Jeno JaeminWhere stories live. Discover now