31. Semester Dua

191 26 6
                                    

"Marah? Kok Bunda kamu marah?"

"Ya, gitu. Dari kecil setiap aku bikin kesalahan Bunda selalu marah. Mungkin aku emang nakal. Dari SD udah sering dipanggil guru, jadi Bunda selalu marah kalau aku salah," ucap Jeno seperti ia sudah sangat terbiasa dimarahi Bunda.

Terbiasa dimarahi Bunda bukan berarti ia sudah menerimanya. Ia tetap sedih dan kesal. Belum lagi ia merasa Bunda lebih menyayangi Jaemin. Bisa terhitung jari berapa kali Bunda menaikkan nada suaranya pada Jaemin.

"Kok bisa SD kamu dipanggil guru?" tanya Donghae yang semakin ingin tahu.

Jeno sedikit tersenyum, bahkan matanya ikut tertawa. Kalau dipikir-pikir, kejadian saat SD terdengar konyol dan lucu.

"Haha, agak bocah sih, Om. Dulu Jaemin diledekin sama temen-temennya karena gak punya ayah. Terus aku pukulin gitu yang ngeledekin."

Donghae terdiam setelah menerima bola dari Jeno. Ia menatap bola itu sebentar, lalu melemparkannya lagi pada Jeno.

"Oh, maaf. Saya kira kamu tinggal sama ayah kamu juga," ucapnya berbohong, berpura-pura buta tentang siapa yang dilihatnya saat ini.

"Engga. Aku ga pernah ketemu sih. Bunda juga ga pernah cerita atau kasih lihat fotonya. Tapi masih hidup. Waktu dulu pernah ada nenek dari ayah dateng ke rumah terus ceritain tentang ayah gitu. Tapi Bunda kayak ga mau kita tahu," ucap Jeno tanpa sadar siapa orang yang ia ajak bicara.

"Kamu juga ga pernah dikasih tahu nama ayah kamu?" ucap Donghae. Jeno menggelengkan kepalanya.

"Aku bahkan ga pernah lihat akte kelahiran karena Bunda ga mau kita tahu. Tapi kayaknya Jaemin tahu. Aku ga begitu peduli sih. Aku juga gak suka sama ayah aku, jadi aku milih untuk gak peduli."

Donghae masih mencoba memasang wajah datarnya dan seperti ia tak tahu apa-apa. Hanya seperti mendengar aib tetangga yang tak sengaja dibocorkan oleh anaknya sendiri.

Jeno pun tak sadar ia mencurahkan segala isi pikirannya. Semuanya mengalir begitu saja, seperti ia bukan berbicara pada orang asing.

"Kok ga suka sama ayah kamu? Bukannya kamu belum pernah ketemu?" ucap Donghae.

"Aku ga benci dia karena dia ayah aku. Aku benci karena setiap Bunda marah, Bunda sering banding-bandingin aku sama ayah. Sering bilang kalau aku sama aja kayak ayah. Makanya aku benci ayah aku, walau aku ga tau siapa dia. Aku sering denger Bunda di kamar marah-marah sendiri dan nyalahin ayah kalau aku abis bikin kesalahan. Dan aku makin benci ayah karena dia ga ada di saat Bunda butuh."

Jeno akhirnya tersadar ia mengatakan terlalu banyak hal. Ia berhenti melempar bola lalu menggaruk kepalanya.

"Aduh, Om, maaf aku jadi banyak cerita," ucap Jeno dan merasa malu.

"Gapapa. Udah lebih baik sekarang?" tanya Donghae. Jeno mengangguk pelan.

Bebannya merasa sedikit terangkat saat ada yang mau mendengarkannya. Selama ini Jaemin selalu mendengarkan keluh-kesahnya. Tapi sekarang Jaemin sakit, dan ia tak tahu harus bercerita pada siapa.

Ia hanya berharap Donghae tidak berkata apa-apa pada Bunda mengenai hal ini. Ia merasa tak enak karena Bunda terkenal baik hati pada orang lain. Bunda jarang menunjukkan sisi tegasnya di luar rumah.

Donghae berhenti melempar bola pada Jeno. Ia duduk di kursi dan mempersilakan Jeno untuk duduk di kursi sebelahnya.

"Jeno, sebagai orang yang sudah cukup berumur, saya tahu, Bunda kamu ga mungkin benci kamu. Saya juga tahu, gak enak rasanya untuk dimarah-marahi sama orang tua. Tapi kalau kamu berpikir dia gak sayang kamu, itu salah. Bunda kamu pasti sayang sama kamu." Donghae sedikit melirik Jeno yang sedang menatap pada genangan air tenang di kolam renang.

Fraternal | Jeno JaeminTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon