18. Rumahmu

557 53 3
                                    

"Jeno, Jaemin, makan malam sudah Bunda siapin ya. Bunda mau tidur dulu. Kepala Bunda agak sakit."

Tepat jam 7 malam, Bunda menghampiri kamar anak-anaknya. Mereka baru saja pulang dari sekolah, baru selesai mandi dan sedang bersantai.

Jaemin yang sedang asyik dengan ponselnya sedikit teralihkan oleh pengumuman Bunda.

"Bunda udah minum obat?" tanyanya lalu menurunkan ponselnya, memerhatikan Bunda dengan seksama.

"Udah kok. Kamu jangan tidur malem-malem ya. Main HP jangan deket-deket liatnya. Bilang nanti sama Jeno. Makin rabun tuh kakak kamu," ucap Bunda lalu masuk ke kamarnya.

Jeno yang baru keluar dari kamar mandi samar-samar mendengar ocehan Bunda tadi. Ia menatap Jaemin kebingungan.

"Kenapa? Bunda manggil aku?" tanyanya sambil masuk ke kamar lalu menutup pintu kamar.

"Engga. Tadi katanya Bunda mau tidur. Terus kamu jangan main HP mulu. Rabun," ucap Jaemin dan tetap bermain game di ponselnya sedekat mungkin.

"Oalah kirain apaan. Ngomong-ngomong kamu lihat kacamata aku ga si?" tanya Jeno sambil berjalan-jalan ke seluruh kamar dengan handuk menggantung di pinggangnya, lalu menyipitkan mata.

"Ya cari lah pake mata, kan kamu yang nyimpen," omel Jaemin yang enggan diganggu konsentrasinya.

"Ya kan aku rabun gimana si! Ga keliatan apa-apa." Jeno jadi ikut mengomel karena ia frustasi dengan mata rabunnya. Bagaimana ia harus mencari barang untuk membantu pengelihatannya itu semnetara ia sendiri tak bisa melihat apa-apa?

"Ish. Tadi kamu taro di mana?" Jaemin berdiri dari kasurnya lalu membantu Jeno yang sudah hilang matanya. Maksudnya, ia sudah sipit, lalu menyipit-nyipitkan matanya. Tak tahu itu berfungsi apa tidak.

"Kalo inget aku ga nanya kamu," ujar pria itu.

"Pake baju dulu sana. Nanti aku cariin."

Jaemin pergi ke luar kamar untuk mencari kacamata Jeno. Ada-ada saja manusia yang satu ini. Sudah tahu rabun, bukannya dijaga dengan baik barang-barangnya sendiri, malah kelupaan.

Jaemin mencari kacamata Jeno ke ruang tengah, ruang tamu, dapur, bahkan teras. Ternyata kacamata Jeno ada di kamar mandi. Saat hendak kembali ke kamar, Jaemin melewati dapur untuk mengambil minum.

Sesuatu menangkap perhatiannya di dapur. Ia kira ada catatan belanja Bunda yang terbuang ke tempat sampah. Bunda sering seperti itu, beres-beres dapur sampai barang penting ikut terbuang.

Jaemin mengambil kertas itu lalu membukanya.

Oh, ini bukan catatan belanjaan Bunda.

Ini surat, dari seseorang bernama Lee Donghae, ayah kandung Jaemin.

Jaemin terdiam kaku membaca surat itu. Lidahnya kelu. Ingin berteriak dan memaki-maki pria ini. Tapi dalam hati kecilnya, ia ingin bertemu pria ini. Memeluknya, dan memanggilnya "Ayah.".

Saat sedang khidmat mengamati surat itu, Jeno keluar dari kamar dan menghampiri Jaemin untuk mengambil kacamatanya.

"Jaem, ketemu ga?" tanyanya saat hendak menghampiri adiknya itu.

"Um, ini, ada," jawab Jaemin yang agak terkejut dengan kedatangan Jeno.

Jeno melihat apa yang Jaemin baca. Ia rampas surat itu dengan kasar lalu ia baca beberapa kalimat awal tanpa ingin mengetahui nama dari pengirim surat itu.

Bibirnya menyeringai, meremehkan goresan tinta hitam itu.

Omong kosong, Ayah.

"Dapet dari mana ini?" Wajah Jeno berubah seketika. Jaemin sendiri tak berani menatapnya. Jeno terlihat sangat marah dan kesal.

Fraternal | Jeno JaeminWhere stories live. Discover now