12. Pulang

327 52 0
                                    

"Apa maksud Bapak? Anak saya ini korban, Pak! Bapak gak lihat mukanya babak belur?!"

Ruangan yang masih diisi oleh beberapa guru dan siswa yang ikut tertangkap bersama Jeno mendadak hening karena bentakan Bunda. Guru BK itu terdiam sejenak melihat emosi Bunda meletup-letup.

"Bu, maaf, saya tahu anak Ibu hanya dipaksa untuk ikut aksi ini. Tapi ia tertangkap bersama siswa lainnya. Saya hanya bisa menyampaikan ini," ujar Guru BK itu dengan tenang.

"Jeno cuma disuruh, Pak! Aku juga ada di sana tadi. Kenapa cuma Jeno yang diginiin?" Jaemin membentak guru itu sambil meremas bajunya sendiri. Ini tak adil. Jaemin yakin Jeno tidak berulah di sana.

"Kamu harusnya bersyukur, Jaemin. Kamu gak tertangkap sama anak yang lain. Kalau kamu memang mau mengaku, Bapak bisa mengeluarkan kamu dengan Jeno."

Bunda langsung terlihat panik saat guru itu berbicara dengan Jaemin. Tapi Jeno tanggap. Ia tiba-tiba membawa Jaemin keluar ruang guru lalu melepaskan tangan Jaemin dengan kasar.

"Kamu ga perlu ngebela aku. Tunggu di sini. Jangan masuk. Awas kamu kalau ngomong kayak gitu lagi," ucap Jeno tegas lalu kembali ke dalam ruang guru.

Jaemin terduduk lemas di kursi panjang depan ruang guru. Ia merasa bersalah. Harusnya ia tidak meninggalkan Jeno sendirian. Harusnya ia berada di sana bersama Jeno walau ia sangat kesal dengan Jeno.

Jeno kembali duduk di sebelah Bunda. Bunda sudah menangis lemas.

"Ini pertama kalinya, Pak. Harusnya Jeno bisa diberi surat peringatan," ucap Bunda pasrah.

"Sekolah ini cukup ternama. Kita tidak bisa mencoreng nama baik sekolah untuk hal ini. Tak ada toleransi agar semua bisa jera dan tidak mengulangi hal seperti ini lagi. Jeno dan 4 siswa lainnya yang tertangkap akan menjadi pelajaran untuk siswa lainnya kalau kami tidak main-main dengan peraturan di sini."

Tangis Bunda tak dapat ditahan lagi. Bunda tak mau menatap Jeno. Ia kecewa. Sungguh, ia sangat kecewa saat ini. Entah terhadap Jeno atau sekolah yang terlalu kejam. Ia juga kecewa pada dunia. Bunda tak pernah berniat jahat pada orang lain, tapi kenapa dunia selalu mengecewakannya?

"Sampai akhir pekan, Jeno masih dapat bersekolah di sini. Ibu juga dapat mencarikan sekolah baru agar ia bisa dianggap pindah sekolah, bukan dikeluarkan. Saya tahu ini berat, tapi saya sendiri tak dapat berbuat apa-apa. Semua ini keputusan sekolah, bukan saya."

Bunda mengangguk lemas. Ia berdiri lalu sedikit membungkuk pada guru BK. Lidahnya kelu, terima kasih pun tak dapat ia ucapkan saat ini.

Bunda meninggalkan ruang guru, diikuti oleh kedua anaknya yang sempat ia sangat banggakan.

Jeno menggenggam tangan Bunda, namun Bunda menolak.

"Bunda ga tahu harus ngomong apa lagi sama kalian. Bunda kecewa."

Langit mendadak runtuh bagi mereka berdua, terutama Jeno. Saat Bunda dan Jaemin sudah melangkah, Jeno terdiam di tengah lapangan. Bunda terus berjalan sampai luar gerbang.

Jaemin sadar Jeno tak ada di sisinya. Ia kembali menoleh ke belakang, lalu melihat Jeno yang tertunduk sambil terisak. Ia segera berlari menghampiri Jeno lalu berdiri di hadapannya.

"J-Jen ..."

Tubuh Jeno hampir jatuh lemas. Jaemin segera memeluk kakak kembarnya dengan erat. Air matanya ikut jatuh bersama dengan tangis Jeno.

"Jen, gapapa. Aku tahu kamu marah. Gapapa."

Jeno meremas seragam kumal Jaemin erat-erat sampai rasanya ia hampir merobek seragam itu. Jeno marah, kesal, sedih, dan kecewa pada dirinya sendiri.

Fraternal | Jeno JaeminWhere stories live. Discover now