17. Sekolah Menengah Atas

491 62 3
                                    

Setelah sejumlah perdebatan, Bunda memutuskan untuk kembali ke rumah bersama anak-anaknya.

Ia mengubur semua harapan dan meninggalkannya di tempat kelahirannya. Semua harapan tentang suaminya yang akan kembali bersamanya.

Surat dan cek itu membuat harapan Bunda terbang ke langit. Bunda tergesa-gesa mencari ayah dari anak-anaknya. Setelah selama ini, Bunda masih mengharapkan pria itu untuk kembali. Untuk membangun keluarga kecil yang mereka impikan dahulu.

Sekarang, Bunda kembali pada realita. Di hadapan rumah kecil di sebuah kota besar, Bunda kembali menjadi perawat pediatrik dengan dua putra kembarnya. Tanpa suami, tanpa ayah dari anak-anak itu.

Jaemin dan Jeno bersiap untuk pergi ke sekolah setelah hari kemarin yang cukup kacau. Bunda telah menghubungi wali kelas mereka. Dan sepertinya wali kelas mereka dapat memahami kondisi Bunda.

"Jaemin, Jeno, sarapan dulu."

Seperti biasa, Bunda menyiapkan sarapan pagi sebelum mereka berangkat. Walau kali ini hanya roti dan segelas susu. Tak ada waktu untuknya memasak nasi goreng atau membuat hidangan lain.

Jeno dan Jaemin masih tak berbicara banyak pada Bunda. Suasana masih kurang enak untuk mereka bercakap seperti biasanya.

Selagi Bunda sibuk bersiap untuk dirinya sendiri, Si Kembar menyantap sarapan mereka.

"Jen." Jaemin menyodorkan susu hangat yang Bunda buatkan. Bunda tak tahu Jaemin membenci susu, Jaemin tidak mau menyakiti hati Bunda karena selalu membuatkannya susu setiap pagi.

Sebagai gantinya, Jeno meminum dua gelas susu dan Jaemin memakan dua tangkup roti. Terdengar tak adil, namun mereka berdua tidak masalah. Minum dua gelas susu cukup mengenyangkan untuk Jeno.

Jeno memang menyukai susu dari kecil. Ia bahkan terlihat seperti bintang iklan susu anak-anak waktu dulu.

"Ayo, udah belum? Kamu jangan kesiangan. Nanti ketemu Kak Johnny lagi." Jeno merapikan seragam barunya lalu ia merapikan kerah seragam Jaemin yang terlihat berantakan.

"Iya udah," ujarnya sambil masih mengunyah roti isi selai kacang dan meses itu.

"Bunda, kita berangkat ya."

Kedua anak laki-laki itu berjalan ke luar rumah. Di persimpangan jalan, mereka berpisah, menuju tujuan masing-masing.

***

"Jen, kayaknya kita sekarang pake gua-lu aja deh."

"Hah? Ngapain?"

"Kita udah SMA."

Kedua bocah dengan papan nama dari kardus bekas itu saling berkerut dahi di tengah lapangan, menunggu upacara pembukaan orientasi SMA mereka dimulai.

Jeno tertawa melihat kekonyolan adiknya itu. Ya, memang sih. Terdengar aneh ketika mereka masih memakai aku-kamu di tengah-tengah anak-anak keren di sini.

Jeno dan Jaemin berhasil masuk ke sekolah favorit di kota mereka. Dengan segala perjuangan otak mereka yang tak pernah dipakai, mereka mampu mendapat skor yang cukup baik dalam ujian nasional.

"Jadi lu mau gua ngomong kayak gini?" ucap Jeno, canggung, mengangkat sedikit alisnya karena kalimat yang ia ucapkan terdengar asing.

"Ah, udah lah. Gak cocok kamu ngomong gitu," ujar Jaemin lalu mendorong wajah Jeno agar berpaling darinya.

"Ya kamu yang minta kayak gitu. Gimana si," ujar Jeno.

Mereka terdiam dan melihat sekeliling mereka. Ternyata pembicaraan mereka cukup menarik perhatian dari barisan orang asing di sini.

Fraternal | Jeno JaeminWhere stories live. Discover now