23. Telepon

190 23 3
                                    

"Maksud Bunda apa?"

Bunda tersenyum pahit. Ia mengenggam meja dapur kuat-kuat. Menahan dirinya agar tak mengucapkan hal yang tidak seharusnya.

"Bunda tahu apa, Bun?" tanya Jeno, mendekati Bundanya yang tertunduk dan menahan emosinya.

"Apa karena kalian gak punya ayah, Jen? Apa Bunda selama ini kurang perhatiin kalian?" tanya Bunda, terdengar seperti pertanyaan retoris. Jeno memilih menjawabnya dengan diam.

"Bunda kenapa?"

Suara asing di tengah perbincangan mereka membuat kedua orang di dapur itu menoleh. Jaemin menghampiri mereka, membuat Bunda dan Jeno terdiam.

"Gapapa. Kalian masuk ke kamar. Kerjain PR-nya," ujar Bunda lalu berpura-pura mengambil spons dan mencuci piring.

"Bunda ngomongin aku, kan?" ujar Jaemin yang malah makin mendekati Bunda.

Jeno segera menghalangi Jaemin yang terlihat emosional. Bunda sudah menitihkan air matanya. Bahkan terlihat Bunda membiarkan air di keran mengalir begitu saja tanpa ia terlihat berkonsentrasi.

"Masuk ke kamar kamu, Jaemin," ujar Bunda dengan suara yang semakin tegas walau tangannya gemetar.

"Kenapa, Bun? Bunda mau ngomong apa tentang aku?" Jaemin tetap berdiri tegak. Inilah yang sudah ia harapkan, kekecewaan Bunda.

"Udah, ayo masuk kamar aja." Jeno mencoba menarik Jaemin ke kamar mereka, namun Jaemin menepis tangan Jeno mentah-mentah.

"Bunda bilang masuk ke kamar kamu!" Bunda akhirnya mematikan keran lalu menatap Jaemin tajam.

Jaemin langsung berkaca-kaca dan terdiam sejenak, begitu juga Jeno yang agak terkejut dengan bentakan Bunda.

"Bunda kecewa ya punya anak kayak aku?"

Bunda menghela napasnya berat. Dunia ini seakan runtuh jika ia memikirkan apa yang baru saja terjadi. Seharian ia sudah mencoba melupakan hal tersebut. Ia bahkan sengaja banyak mengobrol dengan Dokter Yunho agar pikirannya tak fokus pada permasalahan anaknya.

"J-Jaemin, ayo." Jeno terlihat ketakutan ketika melihat apa yang Bunda pegang di wastafel cucian. Sebuah pisau dapur yang entah sengaja atau tidak, Bunda genggam di tengah pertengkaran ini.

"Aku harap aku ga pernah lahir biar ga bikin Bunda kecewa." Jaemin hanya bergumam, tapi Bunda dapat mendengarnya.

"Bunda ngabisin waktu Bunda untuk besarin kamu, dan kamu ngomong kayak gitu? Apa salah, Bunda? Apa salah Bunda sampe kamu kayak gini?!"

Brak!

Bunda sedikit membanting pisau itu ke piring kaca di wastafel.

Jeno segera menghalangi tubuh Jaemin dari Bunda. Ia sangat terkejut sampai takut jikalau Bunda melewati batas dan menyentuh Jaemin. Tak akan ia maafkan ibu kandungnya itu jika menyakiti Jaemin.

Jaemin tak menjawab. Ia sudah hancur. Ia menahan tangisnya walau sambil sesenggukan. Ia berusaha tak terdengar. Tapi seluruh air mata yang membanjiri wajahnya tak dapat berbohong.

"M-maaf, Bunda. Tapi aku gak ngelakuin apa yang Bunda denger dari Bu Yuri."

"Diam. Bunda lagi capek."

"Kenapa gak mau dengerin aku? Bunda lebih percaya Bu Yuri daripada aku?"

"Jaemin!!"

Jeno segera menarik Jaemin dengan cukup kasar agar Jaemin mau bergerak dari tempat itu. Ia membawa Jaemin ke kamar lalu mengunci pintu kamar mereka rapat-rapat. Untuk sesaat Jeno menatap pintu itu. Ia masih shock dengan sikap Bunda. Walau ia tahu, Bunda pasti masih terkejut mendengar rumor mengenai Jaemin tadi.

Fraternal | Jeno JaeminNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ