11. Tawuran

410 60 0
                                    

Aku terdiam membeku membaca tulisan tangan yang sangat kukenali itu. Goresan tintanya persis seperti apa yang kuingat saat ia memberikan surat cintanya kepadaku.

Segera kututup surat itu dan kubawa ke kamar. Aku simpan benda itu di laci paling bawah dari meja riasku. Aku harap aku segera melupakan hal itu.

Akan kuanggap surat itu tak pernah ada. Setelah ribuan malam aku merindukannya, ia pikir secarik kertas dapat mengobati semua rasa sakitku? Tidak. Hatiku malah makin sakit. Terlebih ketika ia menulis "anak kita.".

Omong kosong. Aku membesarkan Jaemin dan Jeno sendirian. Tak ada hak ia menyebut mereka sebagai anaknya. Ia hanya menemaniku selama sembilan bulan. Lalu apa? Ia pergi. Tanpa surat atau kata-kata apapun, persis di hari kelahiran si kembar.

"Cukup." Aku sedikit menepuk-nepuk dadaku karena rasanya sangat sesak tiba-tiba.

Hal pertama yang terpikir olehku adalah, aku harus mengalihkan perhatianku dari surat itu. Aku enggan menangis. Sia-sia air mataku untuk seorang pria bajingan yang telah mengencaniku bertahun-tahun lalu pergi begitu saja.

Jaemin dan Jeno adalah hasil cinta kami. Kami pernah benar-benar bahagia dan saling mencintai. Aku yakin aku tak bertepuk sebelah tangan.

Sudahlah.

Aku kembali ke dapur untuk membuat makan malam. Menu malam ini, sup ayam jagung. Jujur saja, kudapat resep ini dari ibu mertuaku. Jaemin dan Jeno tak pernah menolak sup ini. Aku menghaluskan jagung sampai sedikit menjadi bubur. Makanan ini selalu menjadi pilihan ketika dompetku tipis.

"Aw!" Aku memotong bahan makanan tanpa sepenuhnya sadar sehingga jariku sedikit teriris. Segera kubasuh luka kecil itu dengan air mengalir di bawah keran. Aku terdiam ketika membasuh luka itu.

Lee Donghae bajingan.

Sesaat aku tak dapat bergerak sama sekali. Tubuhku lemas saat terbayang kenangan manis kami. Terlebih ketika mengetahui kami akan memiliki anak kembar, ia senang bukan main.

Aku bersandar pada kulkas lalu duduk di lantai. Hilang seleraku untuk memasak. Mataku sudah berair di tengah-tengah napasku yang terasa berat.

Bug! Bug!

Aku sedikit memukul dadaku yang terasa amat sakit. Air mata mengalir begitu saja dari pelupuk mataku. Kucoba untuk tidak bersuara sedikitpun. Aku tak mau Jaemin atau Jeno tau kondisiku.

"Bunda?"

Ah, sialan.

Jaemin kebetulan sedang mengambil gelas untuk minum. Aku segera berdiri dan menghapus air mataku.

"Kenapa sayang? Udah laper ya?" tanyaku lembut lalu mencoba tersenyum.

Jaemin terdiam tanpa ada senyum dari bibirnya. Ia menatap mataku tanpa berkedip sambil memegang gelas plastik di tangannya.

"Kerjain PR-nya dulu. Abis itu kita makan," ucapku lalu mengelus rambutnya sedikit.

"Bunda kenapa?" tanyanya dengan nada khawatir. Ia bahkan menghiraukan ucapanku. Sama sekali tak ia gubris basa-basiku.

"Kenapa apanya? Bunda lagi masak ini." Aku kembali menghadap meja dapur dan menyiapkan wajan di atas kompor.

"Bunda kok nangis?" Jaemin tak lelah menanyaiku. Ia tak akan pergi sampai aku menjawabnya.

"Ah, ini, tadi tangan Bunda keiris." Aku menunjukkan jari telunjukku yang masih sedikit merah lalu tersenyum.

"Bun, aku ini udah SMP, loh. Bukan anak TK."

Aku sedikit terkejut dengan pernyataanya sampai aku mati kutu. Aku tak tahu bagaimana untuk mengatakan bahwa ayah mereka kembali. Ayah mereka masih menyayangi mereka.

Fraternal | Jeno JaeminWhere stories live. Discover now