2. Kucing Jeno

873 95 2
                                    

"Bun, masak apa?"

Tubuh mungil Jaemin yang bahkan tidak sampai pinggangku memeluk kakiku saat aku sedang memasak makan malam untuknya. Jeno sedang sibuk menonton kartun favoritnya, Kapten Tsubasa dan memegang bola sepak lusuh yang kubelikan beberapa bulan lalu.

"Masak sup jagung pakai ayam," jawabku dengan singkat karena sedang fokus memperhatikan sup itu mendidih.

"Bun mau gendong," bisik Jaemin sambil mengintip kakaknya. Sayangnya, kakaknya mendengar keinginan Jaemin.

"Iii anak bayi masih minta digendong!" teriak Jeno sambil menunjuk-nunjuk Jaemin. Jaemin memutar matanya sedikit dan terlihat tidak begitu peduli. Ia masih mengangkat tangannya dan memintaku untuk menggendongnya.

"Sebentar ya sayang. Bunda masak dulu." Aku mengambil mangkuk untuk makan malam mereka. Mereka kelihatannya tidak begitu bersemangat untuk makan malam. Padahal hari ini mereka lebih aktif dari biasanya.

"Minum susunya masih dari dot, ya?" ledek Jeno lalu menghampiri adiknya yang masih memegang bajuku.

"Jeno bawel!" teriak Jaemin.

Aku hanya diam dan memperhatikan mereka. Mungkin sebentar lagi mereka akan berkelahi atau salah satu dari mereka mungkin menangis. Entahlah, umur mereka lima tahun tapi bertingkah seakan mereka masih tiga tahun.

"Wleee anak bayi!" Jeno menjulurkan lidahnya dengan mata tertutup. Sebenarnya aku tidak yakin apakah matanya tertutup atau ia tertawa sampai matanya tak terlihat.

"Aku bukan bayi, Jeno!" Aku melihat Jaemin mulai sedikit marah, matanya sedikit berkaca-kaca karena candaan kakaknya itu.

"Memang Jeno udah ga mau digendong bunda, ya?" tanyaku lembut lalu menuangkan sup itu ke mangkuk plastik berwarna hijau.

"Iya Bun! Jeno ga usah digendong lagi ya, Bun!" Jaemin mendekatkan dirinya ke badanku. Aku mengintip ekspresi Jeno, ia terlihat kebingungan dengan pertanyaanku. Jaemin memang secara blak-blakan selalu bertingkah manja. Jeno cenderung malu untuk bertingkah seperti itu. Ia sangat mirip dengan ayahnya.

"Ihh Bunda.." Jeno terlihat cemberut lalu menarik-narik bajuku. Aku tidak menyalahkannya karena bersikap seperti layaknya ia telah dewasa dan tidak butuh pelukan lagi. Namun melihatnya meledek Jaemin membuatku ingin menggodanya.

"Kalian beresin mainannya dulu, tuh. Abis itu makan ya."

"Itu mainannya Jeno, Bun." Jaemin mencari alasan untuk tidak membereskan mainannya. Mereka selalu saling tunjuk dalam hal ini padahal mereka berbagi saat bermain.

Aku membelikannya untuk dipakai berdua, dan itu milik mereka berdua.

"Yang tadi main di situ memang Jeno aja?" tanyaku lalu melihat Jaemin yang menunjukkan wajah imutnya agar lepas tugas.

"Kamu tadi kan yang ambil truk dan bis itu, Jaemin." Jeno menggagalkan usaha Jaemin lalu mengambil tangan Jaemin.

"Ayo, beresin." Jeno merasa bertanggung jawab karena memang ia yang paling berantakan hari ini. Namun, hey, kekacauan itu bukan ulahnya seorang.

"Iya iyaaaa," jawab Jaemin dengan malas lalu mengikuti Jeno ke ruang tengah.

Tok Tok Tok.

Pintu rumah kami berbunyi dan nampaknya anak-anak tidak begitu mendengarnya. Aku segera meninggalkan wajan-wajan kotorku di dapur dan melepas celemek. Aku menghampiri pintu untuk menemui pengunjung di depan.

"Ya, siapa?" tanyaku saat membuka pintu.

"Selamat malam, Bu. Saya mau memberikan tagihan listrik bulan ini. Tolong dibayarkan sebelum tanggal 5 ya, Bu. Kalau lebih dari itu listriknya diputus," ujar pria berseragam dan menyodorkanku sebuah surat.

Fraternal | Jeno JaeminWhere stories live. Discover now