26. Jalan Tikus

218 32 3
                                    

"Makasih ya, Tante!"

Ketiga pemuda itu berjalan di trotoar dekat lampu merah. Mereka baru saja turun dari mobil yang mengantar mereka sampai ke trotoar ini. Padahal, pemilik mobil sudah menawarkan untuk mengantar mereka langsung sampai rumah. Tapi mereka bersikeras tidak ingin merepotkan.

"Bro, duluan ya! Hati-hati!" ujar Haechan, melambaikan tangannya saat sampai di sebuah persimpangan jalan, lalu berpisah dengan kedua temannya.

Haechan pergi menuju rumahnya sementara Jeno dan Jaemin masih harus berjalan lebih jauh.

"Lewat jalan yang kecil aja, yuk? Biar cepet sampe," ujar Jeno yang sebenarnya sudah lelah untuk berjalan.

Jalan tikus yang berada lima meter di depan mereka sudah menunggu. Memang jauh lebih cepat berjalan lewat situ daripada harus memutar melewati jalan utama komplek.

Wajah Jaemin ragu. Hari sudah sangat larut. Jalan tikus itu cukup gelap walau disekitarnya masih banyak rumah warga. Dan hanya beberapa meter, mereka akan menemukan jalan yang lebih luas, namun agak lebih sepi.

Kaki Jaemin juga sudah mulai kebas sebetulnya. Ikut membantu pengangkutan logistik setelah acara selesai membuatnya kelelahan.

"Ya udah deh."

Kedua saudara itu masuk ke jalan gang kecil yang minim pencahayaan. Biasa saja sebetulnya. Tak menyeramkan ataupun horor. Mereka tak begitu percaya cerita semacam itu.

"Pengumuman classmeeting kapan sih? Besok jadinya? Emang bakal ada yang dateng?" tanya Jaemin selagi mereka berjalan.

"Jadinya pas bagi rapot dibarengin gitu biar pada dateng. Tapi aku males dateng. Lagian kelas kita ga menang apa-apa, kan?" ujar Jeno yang sangat skeptis dengan kelasnya.

"Perasaan aku bulu tangkis menang, deh. Lagian kamu kenapa ga ikut lomba?" protes Jaemin pada kakaknya yang menyia-nyiakan bakatnya dalam olahraga.

"Kan aku ngurus OSIS."

"Lah yang lain juga pada ikutan?"

"Kenapa ga kamu aja yang ikutan coba?"

Jaemin sedikit terdiam. Sebenarnya ia hanya ikut-ikutan Jeno saja. Jika Jeno mendaftar, ia akan ikut mendaftar. Jika Jeno tidak mendaftar, ia juga tak akan mendaftar. Mereka sudah cukup dicap apatis oleh teman-teman sekelas mereka. Tak sedikit yang mengatakan mereka 'sok ganteng' karena enggan berkontribusi dalam perlombaan.

Sebut itu apatis, atau introvert, atau apa, yang jelas mereka tak ikut hanya karena malas.

"Aku juga sibuk dokumentasi," ucap Jaemin.

"Dih kamu aja--"

"Heh! Lewat-lewat aja lu ga ada sopan-sopannya."

Jaemin dan Jeno tertegun saat ada suara bentakan di ujung telinga mereka. Mereka berhenti, lalu menoleh pada sekumpulan orang yang baru mereka sadari kehadirannya. Mereka terlalu sibuk bercanda sampai tak memerhatikan sekitarnya.

"Waduh, sekolah elit nih." Seorang pria dengan rokok di jemarinya menyentuh jaket yang Jeno kenakan. Jaket itu memang tertera tulisan sekolah mereka. Ia pakai untuk foto bersama panitia di sekolah.

"Sorry, Bang." Jeno sedikit mundur dan memerhatikan beberapa pria yang duduk baru saja bangkit menghampiri mereka.

Jaemin sedikit menganalisis keadaan. Melihat name tag sekolah mereka, ternyata mereka berasal dari sekolah lawan.

Ah, sial. Mereka sudah tak tertarik dengan masalah seperti ini. Mereka hanya ingin pulang. Tak sedikitpun menyinggung atau mencoba mencari keributan dengan mereka. Sialnya, jaket yang Jeno kenakan memang cukup menarik perhatian sekumpulan anak tongkrongan ini.

Fraternal | Jeno JaeminWhere stories live. Discover now