Part 56 • Aryana

441 53 9
                                    

Sebagai ketua divisi photography dan cinematography, tanggung jawabku dalam acara Capture bisa dibilang paling besar. Selain harus bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi dalam keseluruhan acara, aku juga harus bertanggung jawab atas setiap orang yang terlibat di dalamnya.

Tugasku bukan hanya memastikan acara bisa berlangsung sesuai dengan rencana, tetapi juga memastikan bahwa orang-orang yang terlibat di dalamnya memperolah hak dan kewajibannya dengan baik. Semuanya bekerja dengan job desk masing-masing, tanpa ada orang yang mengambil bagian lebih banyak atau bahkan tidak mengambil bagian sama sekali. Hanya numpang nama dan wajah semata.

Mungkin jika dikatakan tidak terdengar berat, tetapi ketika dilakukan tidak demikian. Ada tanggung jawab besar yang aku pikul, sebab harus berhubungan dengan banyak orang. Harus menghadapi setiap sikap yang dimiliki mereka, juga harus mampu menempatkan diri agar tidak terlihat berat sebelah ketika dihadapkan dengan dua pilihan.

Ya, pada intinya aku bisa menyimpulkan bahwa membuat acara memang tidak mudah. Meski rencana sudah dilakukan berbulan-bulan, semua yang berjalan sangat mungkin jauh dari rencana. Selalu ada kemungkinan untuk gagal, dan kita hanya bisa berusaha untuk mengurangi resiko kegagalan tersebut. Syukur-syukur bisa menghentikannya dengan melakukan tindakan preventif.

"Akhirnya gue bisa bernapas, Bang." Ujar Ray. Dia adalah ketua pelaksana acara, tetapi baru kali ini dia menjabat sebagai ketua. Makanya ssecara khusus, dia memintaku membantu dalam banyak hal. Dan sebagai ketua divisi — dalam Capture aku menjadi pengawas, aku tentu tidak menolak permintaannya itu.

Aku tahu betul bagiamana dulu aku ketika menjadi ketua pelaksana. Sama seperti dia yang masih belum pernah menjabat posisi penting, aku juga kewalahan karena harus melakukan banyak hal sendirian. Apalagi waktu itu ketua divisinya, Bang Haikal sedang opname di rumah sakit sehingga aku tidak punya kesempatan untuk meminta tolong seperti yang dimiliki Rayhan.

Aku harus melakukan banyak hal sendirian, mempelajari segala hal secara otodidak, juga mencoba memecahkan masalah dengan solusi-solusi nyeleneh yang ada di dalam kepala.  Sebab aku tak tahu bagaimana sulitnya itu, maka sebisa mungkin aku membantu Rayhan seperti yang dia minta. Aku tak ingin membuat Capture menjadi salah satu pengalaman buruk baginya, apalagi sampai menjadi trauma yang membuatnya enggan untuk menjadi ketua acara di tempat lain. Semoga saja tidak ada kejadian seperti itu!

Aku menepuk pundaknya pelan. Kali ini kami berdua baru saja ke luar setelah menyerahkan proposal, juga menjelaskan sedikit gambaran mengenai acara yang sebentar lagi akan kami jalankan. "Gapapa, lo hebat."

"Gak nyesel gue percaya lo." Aku mencoba memberikan dia semangat lewat kata. Meski tak yakin cukup berefek, setidaknya dia tau bahwa apa yang dia lakukan sudah cukup baik. 

"Gue tau lo bisa kok." Lanjutku meyakinkan. Mencoba menunjukkan padanya bahwa yang aku katakan sebelumnya adalah sebuah kebenaran, dan dia harus mempercayainya.

Acara yang menggunakan dana BPPTN — dana yang diberikan kampus untuk organisasi untuk menjalankan aktivitasnya, memang sedikit rumit. Kami harus mempertanggungjawabkan dengan detail kemana uang itu pergi, meski jumlahnya tidak lebih besar dari yang yang kami usahakan sendiri. Namun bagaimana pun juga sangat membantu. Setidaknya kami tidak dipaksa berjualan setiap hari. Tidak harus mengonsumsi risol setiap hari, meski aku pribadi tidak keberatan untuk membelinya. Apalagi jika yang berjualan adalah dia, Kalana Diandra. Ah, dasar lo, Yan!

"Lo abis ini kemana, Bang?" tanyanya setelah sampai parkiran. Aku dan dia janjian di tempat ini, jadi masing-masing dari kami membawa kendaraan sendiri-sendiri.

"Mau nongkrong bentar sih sama anak-anak. Soalnya udah gak ada kelas." Selain menemaninya, aku memang tidak punya acara penting lagi di hari ini. Sudah tak ada kelas, juga tak ada pertemuan di himpunan. Aku hanya akan menghabiskan waktu dengan teman-teman, mungkin sekedar nongkrong sembari menikmati segelas kopi dan pulang ke kosan beberapa saat setelahnya untuk beristirahat.

"Mau ikut?" tawarku. 

Dia menggeleng. "Nggak dulu deh, Bang. Gue harus ketemu Lana."

Fokusku yang sudah di atas motor terbuyarkan. Tepat ketika Ray mengatakan bahwa dia ingin menemui Lala.

Wah, ada hubungan apa mereka berdua?
Apa mereka deket?
Kenapa gue gak tau?

Harus aku akui, semua tentang Lala selalu membuatku menjadi super sensitif. Perkembangan hubungan kami terlalu fluktuatif, jadi aku harus selalu siap siaga setiap saat. Semua hal menjadi aku waspadai, sebab rasanya hubungan kami masih stuck di situ-situ saja. Dan tentu, aku tidak ingin menambah hambatan yang membuatku semakin lama dekat dengannya. Apalagi jika hambatan itu berupa saingan, yang secara tampang cukup sepadan. Anjir lah! Masa sekarang maslaah gue nambah sama munculnya saingan.

"Ada apa mau ketemu Lana?" tanyaku hati-hati. Mencoba untuk bersikap biasa.

Secara pribadi, sebenarnya akutidak takut jika kedekatanku dengan Lala akan diketahui oleh orang lain. Aku justru senang, tetapi dia sepertinya tidak. Aku tau betul dia merasa tidak nyaman menjadi pusat perhatian. Makanya saat di depan anak-anak, terutama anak divisi kami aku cukup menjaga jarak dengannya.

"Gapapa kalo gak mau jawab, santai." Aku melihat ekspresi wajah Ray yang tidak enak. Mungkin tidak ingin menjawab, tetapi juga tidak enak melakukannya karena yang bertanya adalah aku. Orang yang sudah banyak membantunya.

Ray menggeleng, "Bukan gitu, Bang."

"Sebenernya gue hari ini ada jadwal jualan."

Aku megernyit. "Bukannya harusnya diambil pagi tadi?"

Dia mengangguk. "Harusnya iya, cuma gue request siangan. Pagi agak ribet karena gue bangun siang mulu." Dia menjeda ucapannya sebentar, lalu menggaruk pelan tengkuknya.

Bjir!
Bocah ini salting.
Dia suka Lala?

"Oo gitu," aku mengangguk-angguk.

"Gue juga sekalian mau modus sih, siapa tau." Aku yang sudah memutar kunci motor kembali memutarnya ke arah yang berlawanan. Satu kalimat darinya benar-benar membuatku akan sakit kepala. 

"Lo suka dia?" tembakku langsung. Enggan untuk berbasa-basi karena butuh cepat jawaban pasti darinya.

Dia menggeleng. "Ga tau,"

"Gau tau gimana?" tanyaku tak sabar. Sudah berani-beraninya mepet, tapi belum tau perasaan yang dia miliki.

"Gue tertarik sama dia, Bang. Gue juga suka ngeliatin dia."

"Cuma kalau buat suka apa nggak nya, gue belum yakin. Makanya mau mastiin dulu."

Aku memijit kepala pelan. Sudah lah berjuang mati-matian tidak dapat, malah sekarang ketambahan saingan.

"Jangan main-main, Ray."

Aku kembali menstandarkan motorku, tetapi tidak turun. "Gue tau gue gak berhak buat ngelarang lo suka sama siapa." Aku tidak boleh terlihat mencurigakan agar dia percaya. "Mau suka siapa aja itu hak lo."

"Cuma kalau sama anak Hima, terutama yang satu divisi lo kudu hati-hati." Aku mencoba memberikan gambaran mengenai apa yang kemungkinan akan terjadi. Ini alasanku juga tidak terlalu mepet dengannya, sebab tak mau mengganggu hubungan profesionalitas kami yang tinggal sebentar.

Aku sudah bertahan lama, jadi tidak akan membiarkan orang lain untuk menyalipnya.

"Iya, Bang. Makanya gue juga deketin diam-diam."

Aku melirik ke arahnya. Tangguh juga ini bocah.

Aku mengangguk. "Tapi kalau bisa dipikirin lagi ya. Lo ketua soalnya, jadi mungkin dampaknya juga bisa lebih besar."

"Iya, Bang."

"Gue rencana mau make sure perasaan gue dulu. Ntar kalau udah yakin, gue bakal usaha setelah acara."

Wah, gue kudu tembak Lala sekarang aja kali ya?
Ini bocah gak bakalan mundur kayaknya.

Siapa kangen sama Aryan dan Kalana?
Any aku gabisa janji sering update ya
Soalnya lagi sibuk cari loker 😁

SeniorWhere stories live. Discover now