Part 2 • Kalana

5.3K 652 16
                                    

Part 2 up yeay!
Jangan lupa buat vote, komen, atau pun share cerita ini kalo menurut kalian ini menarik

Terima kasih

***

Everyone special for their own life adalah kalimat paling bulshit yang pernah aku dengar selama hidup di dunia.

Apanya yang spesial? Cih!
Aku bahkan hampir selalu ingin mengumpat setiap kali ada orang yang mengatakan hal semacam itu di hadapanku.

Selama sembilan belas tahun hidupku yang belum ku tahu juga manfaat konkritnya, aku belum pernah sekalipun mengetahui apa yang sebenarnya spesial dari diriku sendiri. Tentunya selain aku adalah bagian dari tujuh milyar orang terpilih yang bisa menghirup oksigen di bumi yang sudah tua ini dengan gratis.

Apabila memaksa untuk mencari tahu apa yang spesial dalam diriku, analisis ku juga belum dapat menyimpulkan dimana letak keberadaannya yang memang hampir mustahil ditemukan.

Jika itu di bidang akademik, aku rasa adalah hal yang mustahil karena semenjak SD dulu nilai ku bisa dibilang terlampau biasa, dan seringkali hanya lebih satu hingga dua angka di atas nilai kriteria kelas minimum yang telah ditetapkan.

Lalu jika di bidang olahraga?
Itu lebih mustahil lagi sepertinya. Aku bahkan harus selalu mengucap syukur atas kebaikan-kebaikan guru olahragaku selama sekolah yang sudah berbaik hati meluluskan ku di ujian praktik yang dilakukan.

Sementara untuk bidang seni? Entah mengapa aku langsung teringat pada bundaku, yang notabene adalah ibu kandungku sendiri — yang bahkan seringkali menyuruhku diam saat tidak sadar aku ikut bernyanyi ketika memutarkan musik di spotify.

Jadi kesimpulannya, apa yang sebenarnya spesial dari seorang Kalana selain adalah perempuan yang terlalu biasa dan tidak punya bakat? Tidak ada!

I mean, entah sebenarnya bakat ku adalah tidak punya bakat atau bakat ku — yang sebenarnya masih terkubur begitu dalam hingga selama dua dekade terakhir belum juga cukup untuk menggalinya hingga sampai ke permukaan? Entahlah, hanya Tuhan yang tau pasti jawabannya.

"Saya nggak punya bakat, Kak." Dengan takut-takut aku akhirnya memberanikan diri menyatakan kalimat andalanku saat di situasi genting seperti sekarang.

Dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, aku mungkin akan segera diberikan setumpuk tugas untuk mengerjakan sesuatu karena telat. Entah itu bersih-bersih, menuliskan dua lembar surat penyesalan dan permintaan maaf, atau justru meminta tanda tangan senior yang mendadak menjadi banyak maunya ketika dimintai tolong.

Semoga bukan yang ketiga, doaku yang terus aku panjatkan di dalam hati.

Ku lirik sosok ber- name tag Jesika ini. Meski dari luar tampilannya terlihat begitu ramah, aku tidak yakin jika dia sudah bersuara citranya di mataku akan tetap seperti itu lagi atau tidak.

"Kalo gitu coba kamu kesana ya. Minta tugas sama abang-abang yang bawa kamera itu." Ucapnya sembari menunjuk ke arah tepat di belakangku.

Entah mengapa perasaanku menjadi tidak enak. Semenjak kejadian di hari pertama OSPEK dua hari lalu, aku menjadi selalu merasa was-was dengan semua orang yang membawa kamera. Sementara di sisi lain, perempuan di depanku ini justru memintaku secara terang-terangan mendekat ke arah salah seorang yang membawa kamera tersebut.

Aku menghela nafas pelan. Merapalkan bermacam-macam doa penolak bala sebelum akhirnya memberanikan diri untuk menoleh ke belakang.

Mampus!
Beneran Bang Aryan ternyata.

SeniorWhere stories live. Discover now