Part 48 • Aryan

660 83 8
                                    

Aku merebahkan tubuh di atas kasur. Setelah beberapa jam menempuh perjalanan, pada akhirnya aku bisa sampai di rumah dengan selamat. Kembali ke kamarku yang beberapa bulan ini aku tinggalkan, yang ternyata tidak berubah sedikit pun meski tak pernah digunakan.

Suara getar ponsel dari samping tubuhku menginterupsi kegiatan melamun yang sedang aku lakukan. Nama Gara terpampang jelas di sana — entah kenapa, sebab kami bahkan belum ada sehari terpisah.

"Kenapa?" tanyaku sedikit malas. Bukan tidak senang dengannya, tapi masih malas berbicara karena ingin beristirahat sendiri terlebih dulu. Badanku terasa remuk karena beberapa hari ini memiliki jam istirahat yang berantakan. Jadi dibawa duduk diam di dalam kendaraan selama berjam-jam rasanya sangat tidak nyaman.

"Iya, udah sampai kok." Jawabku saat dia menanyakan apakah aku sudah sampai rumah atau belum. Dia sudah seperti pacar yang terlalu khawatir, membuatku yang sempat memikirkan saja sudah geli-geli ngeri tidak jelas.

"Bagus deh! Gue mau pinjem motor boleh gak? motor gue bannya kempes. Gue males kalo harus mampir ke bengkel dulu." Aku mendengus. Sudah  benar memang jika aku menaruh curiga di awal. Seorang Sagara tidak akan mungkin berubah menjadi perhatian dalam sekejap. Dia menanyakan apakah aku sampai rumah belum saja sudah sangat aneh, karena dia bahkan tidak peduli aku pulang ke kosan atau tidak.

"Pake aja. Kuncinya gue titip ke lo, kan, tadi pagi." Aku mengingatkannya bahwa kunci motorku sudah aku titipkan ke dirinya sendiri. Jika dia mau pakai yang dipakai saja, daripada hanya menganggur di parkiran kosan. "Mau kemana emang?" sudah kepalang menelpon, aku sekalian bertanya. Bukan karena penasaran, hanya mencari topik obrolan karena sambungan telepon sudah terlanjur terjalin.

"Mau ketemu mantan gebetan lo nih," aku mengangguk. Padahal orang di seberang sana tak akan bisa melihatnya. "Gila kayaknya ini dia, marah-marah mulu kerjaannya." Keluhnya. Mengeluhkan Claudia yang sepertinya membuat kepalanya pusing itu. Apalagi dia tidak memiliki batas kesabaran yang cukup tinggi, jadi pasti emosi sendiri ketika menghadapi perempuan yang satu itu.

"Lo dimarahin?" tanyaku cukup kaget. Pasalnya terakhir kali kami bertemu, dia kelihatan tidak ada masalah dengan konsep video tang disarankan oleh Gara.

"Bukan, junior yang ngegantiin lo. Tapi dia kan ngeluh-ngeluhnya ke gue. Jadi gue juga ikutan pusing,"

"Si doi marah gara-gara lo gak ikutan proses produksi. Kayaknya dari awal emang gak niat bikin video, emang niatnya mau deketin lo." Jujur aku percaya dengan perkataannya yang satu ini. Dilihat dari bagaimana dia menyapa dan mengajak ngobrol aku, aku tahu bahwa dia belum menyerah atas diriku. Meski sudah ku tolak secara terang-terangan, sepertinya perempuan seperti dia tidak akan langsung menyerah.

"Sialan!"

Aku justru tertawa mendengar Gara mengumpat. Diliat dari temperamennya, tidak mengherankan jika perempuan itu — aku tidak mau menyebut Namanya lagi, marah-marah dan melampiaskan kekesalannya pada mereka. Dia bahkan selalu mengirimiku pesan di Instagram, hingga mau tidak mau aku blokir karena sudah sangat mengganggu dan meresahkan.

"Siapa yang lo tarik?" pertanyaanku merujuk pada adik tingkat yang dia mintai tolong menggantikan posisiku. Aku memang mengatakan bahwa tidak mau mengambil resiko, dan memintanya untuk mencari orang lain untuk menggantikan ku membantunya. Urusanku dengan Lala yang kemarin saja belum selesai, jadi aku tak mau menambah masalah dengan terlibat dengan mantan gebetan.

"Randi,"

"Dia gak pulang kampung?" aku bertanya karena setahuku, Randi adalah anak yang berasal dari luar Jawa. Kalau dia menerima tawaran Gara berarti dia memilih tidak pulang untuk liburan semester ini.

"Nggak. Katanya mau pacaran aja dia di sini,"

Aku tertawa mendengarnya. Dia memang sudah terkenal bucin dengan pacarnya yang berada di jurusan sebelah. Namun aku tidak menyangka saja, ternyata bucinnya memang sudah another level macam ini.

"Gar!" Memilih untuk tidak melanjutkan obrolan soal Randi, aku berencana menanyainya terkait hal yang agak serius. Pembicaraan kami barusan mengingatkanku akan satu hal yang sempat kami bicarakan beberapa hari lalu, dan aku membutuhkan bantuannya kembali untuk menemukan langkah.

"Kenapa?"

"Gue mau nanya sesuatu," ujarku langsung. "Lo nggak lagi buru-buru kan?" aku memastikannya lebih dulu, sebab ada firasat bahwa pembicaraan ini akan membutuhkan waktu yang sedikit lama.

"Kenapa?" tanyanya lagi. Pasti cukup penasaran karena nada bicaraku yang terdengar lebih serius.

"Gue beneran harus dateng ke rumah Lala nggak?" aku ingat obrolanku dengannya beberapa hari lalu. Tepat saat aku menanyakan apa yang harus dilakukan, yang mana dia akhirnya menyuruhku untuk menunggu. Namun karena seminggu terasa sangat lama, aku memilih untuk pulang saja dan menemuinya secara langsung. Toh rumah kami tidak terlalu jauh, dan sepertinya membicarakannya langsung jauh lebih baik dibandingkan melalaui telepon yang rawan menimbulkan kesalahpahaman.

"Dia belum ada ngehubungin gue sama sekali dari kemarin," lanjutku menambahkan informasi. Sejak insiden malam itu, kami memang belum ada berhubungan sama sekali. Lala tak mengirimiku pesan apapun, sementara aku cukup tau diri untuk tidak mengirim pesan padanya lebih dulu. Aku tak mau egois, jadi mencoba untuk memahami posisinya.

Gara diam. Membuatku yang masih rebahan merasa was-was, "Gimana?" tanyaku tidak sabar.

"Lo kepengen dateng gak? kalo iya, ya dateng aja." Berbeda dari aku yang was-was, dia justru terlihat santai. Bahkan jawabannya sangat sederhana, tapi jika dipikir memang jawabnya cukup masuk akal untuk dilakukan. Memang kelakuannya kadang-kadang gila, tetapi di situasi genting dia tetap bisa diandalkan.

"Dia belum chat gue dari kemarin," aku mengadu perihal Lala yang belum menghubungiku sama sekali. Entah masih marah, masih membutuhkan waktu untuk berpikir, atau justru sudah tidak mau lagi berurusan denganku. Alasan terakhir yang membuat hidupku tidak tenang beberapa hari terakhir ini.

"Lo udah chat?" Aku menggeleng. Padahal orang yang bertanya tidak akan melihatnya.

"Belum," jawabanku mengkonfirmasi. Sadar bahwa meski sudah menggunkaan Bahasa tubuh, Gara tidak akan bisa melihatnya.

"Ya di chat dulu goblok!"

"Kenapa?" aku masih tak yakin apakah ini keputusan yang tepat atau bukan. Aku takut setiap tindakan yang aku ambil nanti akan membuatnya marah, lalu semakin menghindar dariku. Oleh karena itu aku selalu memikirkannya dengan hati-hati.

"Kan dia belum chat," lanjutku menambahkan.

"YA SIAPA TAU DIA MAU CHAT LO DULUAN GENGSI TOLOL!" Bukannya bicara dengan baik-baik, dia malah emosi. Bahkan aku bisa membayangkan wajahnya itu ketika menjawab pertanyaanku barusan. Dasar bocah tidak sabaran!

"Kalau gue chat duluan terus gak dibales gimana?"

"Spam chat!"

"Lo serius apa bercanda?" ujarku memastikan. "Gue khawatir dia makin marah,"

"Banci banget lo, Yan!"

"Dicoba dulu anjing, jangan nyerah duluan gini." Lanjutnya geregetan.

"Gue bukannya nyerah duluan, Gar. Gue cuma bersikap hati-hati." Jelasku, tetap tak mau disalahkan.


SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang