Part 34 • Kalana

677 90 0
                                    

Simalakama, maju kena mundur pun juga kena

- Kalana -

Menjadi manusia yang mudah overthinking memang tidak mudah. Waktu-waktu sendiri yang harusnya digunakan untuk beristirahat justru dihabiskan untuk memikirkan kekhawatiran-kekhawatiran tidak jelas yang ada di dalam kepala.

Memikirkan hal-hal yang belum terjadi, lalu juga menyalahkan diri sendiri atas semua hal yang telah terjadi. Seandainya ini, seandainya itu, menjadi pembenaran untuk menyalahkan diri atas semua keputusan yang telah diambil.

Pada tahap yang normal — maksudku tidak berlebihan dan hanya memikirkannya sesekali saja, memikirkan hal-hal seperti itu mungkin bisa dikatakan baik. Menjadi ajang untuk evaluasi sekaligus agar selalu mawas diri ketika ingin memutuskan sesuatu. Namun jika selalu dilakukan setiap malam, sepertinya ini adalah sebuah tanda bahwa seseorang membutuhkan bantuan dari seorang profesional. Dan sayangnya, orang yang membutuhkan bantuan dari seorang profesional itu sepertinya adalah aku, Kalana Diandra.

Aku menatap langit-langit kamar bercat putih ini. Menghela napas lelah tat kala menyadari bahwa berpikir berlebihan ku sudah benar-benar berlebihan. Ujungnya pun, pikiranku seperti benang kusut sekarang!

Tidak tahu harus mulai menguraikannya dari mana, sebab semuanya terasa begitu rumit untuk diselesaikan. Tidak tahu mana pangkal dan ujungnya karena semuanya menyatu hingga membuat kepalaku rasanya ingin pecah.

Untuk kedua kalinya, lagi-lagi aku menarik napas dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Menyadari bahwa aku mulai bimbang terhadap sesuatu, yang bahkan baru beberapa saat yang lalu sudah meyakinkan diri ketika memutuskannya.

Aku tidak tahu keputusanku terakhir kali itu benar atau justru sangat  salah. Mengiyakan permintaan Bang Aryan yang ingin melakukan pendekatan — layaknya seorang laki-laki yang tertarik dengan perempuan.

Pada saat itu hanya perasaan bahagia yang memebuncah dan memenuhi rongga dadaku. Mendorong diriku untuk mempertahankankan perasaan menggebu-gebu tersebut sehingga menuruti apa mau hati. Namun sayangnya, setelah waktu berlalu kali ini justru kekhawatiran yang begitu besar terjadi padaku. Mengkhawatirkan hal-hal tidak masuk akal yang akan terjadi jika nanti hubungan masa lalu itu kembali lagi di masa kini.

Rasanya menjadi munafik, tapi aku ingin menegaskannya sekali lagi. Entah karena aku labil atau bagaimana, jujur pada intinya — saat itu aku sudah memutuskan untuk menjadi egois dan ingin melakukan apa yang memang menjadi keinginanku. Namun ketika aku memikirkannya kembali sekarang, rasanya ini adalah keputusan yang salah. Keputusan yang harusnya tidak aku putuskan dengan cepat tanpa pertimbangan yang matang, sebab resikonya bisa berpotensi mengancam hubunganku dengan Mbak Karina dan juga keluarga besar.

Sulit sekali hidupmu, La! pikirku di dalam kepala.

***

Well, sudah lebih dari satu jam aku hanya guling kanan dan guling kiri. Tidak bisa tidur karena memikirkan masa depanku yang tidak begitu jelas. Lalu berakhir dengan memandang plafon dengan pemikiran yang berkelana.

Jika boleh jujur, hari ini aku merasa sangat bahagia. Menghabiskan waktu berjalan-jalan dengan Bang Aryan hingga melupakan banyak hal. Namun ketika sudah sampai ke kosan dan sendirian, mendadak benang kusut itu kembali muncul. Membuatku uring- uringan tidak jelas di kamar sempit bertema hijau tosca ini.

Aku membutuhkan teman untuk berbagi perasaan! — kesimpulanku saat tetap tidak bisa memejamkan mata. Namun saat melirik stand watch di atas meja yang menunjukkan pukul dua pagi, maka sepertinya keinginanku itu harus ditunda hingga besok pagi. Atau aku harus merelakan telingaku mendapatkan ceramah dari Zahra, yang berarti bahwa bukan aku yang bercerita tapi aku yang harus mendengarkan omelan panjang lebar darinya.

"Argggggh!" Aku memukul gulingku yang tidak bersalah. Menyalurkan emosi yang sedari tadi ku tahan — entah pada siapa dan siapa pula yang harusnya mendapatkannya.

"Gue dosa gak sih kalo deket sama mantan pacar kakak sendiri?" tanyaku pada diri sendiri. Jika aku sendiri tidak yakin dengan jawabannya, bukanlah akan sulit bagi kami berdua untuk memperjuangkan hubungan kami yang bahkan belum dimulai ini?

Meski tidak ada yang tahu masa depan, nyatanya aku sudah bisa memprediksi bagaimana hubunganku dan Bang Aryan ke depan. Jika nantinya hubungan kami berhasil, maka sudah dapat dipastikan kami akan mendapatkan tekanan dari segala sisi, terutama keluargaku sendiri.

Bukan berniat men judge seenak jidat, tetapi melihat track record mereka selama ini tentunya itu bukanlah hal yang mustahil. Apalagi dengan perbedaan sikap keluargaku terhadapku dan Mbak Karina, tentu permasalahan ini akan dilimpahkan semuanya padaku.

Sudah tidak tahan, aku meraih ponsel dan berniat menghubungi Zahra. Namun bukannya membuka aplikasi hijau bernama WhatsApp, aku justru melihat aplikasi berwarna merah dengan nama galeri. Memperhatikan beberapa foto yang diambil ketua divisi photography dapat kamu berjalan-jalan mengitari mall. Lemah iman banget lo, La!

"Beneran skill full banget sih ini orang!" Komentarku saat melihat beberapa foto. Aku yang biasanya terlihat jelek, gendut atau tidak siap ekspresi mendadak jadi seperti model. Semua foto yang diambilnya benar-benar bagus. Tidak salah jika sekarang ini dia menjabat sebagai ketua divisi yang tertarik dengan foto-foto.

Tidak henti-hentinya pujian keluar dari mulutku. Padahal niat awalnya hanya ingin melihat sekilas hasil foto yang diambilnya, tetapi yang terjadi justru aku memuji-muji orangnya. Bukan lagi pada foto atau kemampuannya dalam mengambil foto melainkan cenderung pada kelebihan-kelebihan lain yang melekat padanya. Tentunya yang sudah tidak relevan lagi dengan konteks yang sebelumnya, seperti dia yang ramah, tampan, dan di waktu yang bersamaan terlihat menawan.

Apa yang masih berkaitan dengan keterampilan mengambil gambar? tentu saja tidak ada!

Aku tersenyum sendiri ketika mengingat-ingat momen yang terjadi hari ini. Perasaan itu kembali lagi, perasaan bahagia yang cukup kuat hingga menghilangkan kekhawatiranku yang sedari tadi menghampiri. Mengikis semua rasa was-was dan menggantikannya dengan perasaan seperti kupu-kupu beterbangan di dalam perut. Apa aku sudah mulai meggila?

Aku melempar ponselku saat tiba-tiba ada panggilan masuk. Mengambilnya kembali secara perlahan, lalu mengintip nama yang terpampang di layar. "Ini beneran gak sih?" aku meragukan penglihatan ku sendiri. 

Pasalnya tiba-tiba saat aku sedang asyik melihat foto dan memujinya itu, ada panggilan masuk yang membuatku kaget. Apalagi saat melihat nama yang terpampang di layar, aku merasa semakin aneh. Dan semakin merasa anehnya lagi, nama yang tertera adalah namanya — laki-laki yang sedari tadi memenuhi pikiranku.

"Halo ...." sapaku hati-hati. Masih sedikit tidak percaya apakah yang aku alami ini sungguh terjadi atau hanya halusinasiku saja. Maksudku, bukankah begitu kebetulan dia menghubungiku di jam yang tidak wajar dan saat aku sedang asyik memikirkannya?

"Hai, La."  jawab seseorang dari balik telepon. Menyadarkanku bahwa sosok dibalik telepon itu memang benar-benar ada. Kira-kira kenapa ya Bang Aryan menghubungiku di pagi buta seperti ini?

Aku menjauhkan ponselku sebentar untuk mengambil napas. "Ada apa, Bang? kenapa telfon gue jam segini?"

Tidak langsung menjawab, entah karena bingung atau sedang memikirkan jawaban dari pertanyaanku. "Gue gak bisa tidur karena kangen lo, La ..."

Hah?
Apa maksudnya itu?

SeniorWhere stories live. Discover now